“The First Wealth is Health.” – Ralph Waldo Emerson.

Overweight alias kelebihan berat badan, dikenal oleh masyarakat sebagai obesitas. Obesitas dalam KBBI diartikan sebagai penumpukan lemak yang berlebihan di dalam badan; kegemukan yang berlebih. Kegemukan ini bukan hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi anak pun bisa mengalami kegemukan. Gemuk berada satu level dibawah obesitas. Padahal kegemukan dan overweight berbeda.

Dari data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per tahun 2018, anak usia 5 -12 tahun di Indonesia 18-19% mengalami kelebihan berat badan dan 11% menderita obesitas. Sementara, prediksi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ada 60 juta anak dengan obesitas.

Penyebab anak dapat mengalami kegemukan dikarenakan faktor genetik dan gaya hidup. Berkaitan dengan gaya hidup, salah satu penelitian di United Kingdom, menunjukkan anak yang menonton setiap hari, akan membuat indeks massa tubuh mereka bertambah. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas. Kurangnya aktivitas fisik dan membuat anak cenderung pasif, maka anak naik berat badannya. 

Selain itu, kebiasaan makan-makanan cepat saji karena gaya hidup berhubungan dengan kalori yang masuk ke dalam tubuh dalam jumlah banyak dan tidak terkontrol, sehingga mempengaruhi berat badan. Lebih lanjut, dalam Temu Media Hari Obesitas Sedunia di Kanal Youtube Kemenkes, disebutkan bahwa era pandemi juga berdampak pada obesitas anak dikarenakan pergerakan aktivitas terbatas.

Kita tahu bahwa dampak dari kegemukan selalu dikaitkan pada kesehatan fisik dan tubuh. Dalam ranah kedokteran dan medis, maka kegemukan dapat menyebabkan asma, penyakit jantung, beresiko diabetes, masalah pertumbuhan tulang, masalah pola makan, pubertas diri, dan sebagainya. Bersamaan dengan itu, ternyata kegemukan berdampak secara psikologis juga. Basuki dan Hartati (2013) menjabarkan bahwa obesitas dapat memberikan dampak pada fisik, mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan dari orang lain, memunculkan perasaan negatif, memiliki pandangan negatif terhadap tubuh, serta usaha lebih untuk menyesuaikan diri di lingkungan.

Penelitian lain yang berkaitan antara obesitas dan harga diri dilakukan oleh Rahayu dan Husnina (2019), remaja putri yang cenderung obesitas memiliki tingkat harga diri rendah. Hal ini mengakibatkan gangguan pskikologis, seperti bullying, depresi, dan rendah diri khususnya secara fisik. Dr. Kimberly Gudzune dari Johns Hopkins University School of Medicine, menjelaskan bahwa orang gemuk cenderung mencap dirinya negatif. Umumnya, mereka malu dan menyalahkan diri dan “membenci” diri sendiri.

Perasaan dan pemikiran negatif pun berdampak kepada aspek perkembangan manusia. Misalnya, pada aspek kognitif, anak cenderung berpikir mereka tidak mampu, tidak berharga, dan sebagainya, sehingga membuat anak mengalami masalah belajar dan tidak dapat berkonsentrasi. Pada aspek sosial, mereka akan merasa ‘berbeda’ dan cenderung menarik diri, hal ini akan berdampak pada kepercayaan diri anak dan kemampuan adaptasinya. Lalu, aspek emosi, mereka akan merasa malu, tertekan, cemas, hingga depresi.

Anak dengan kelebihan berat badan, umumnya mengalami kecemasan dan cenderung mengalami masalah belajar. Penelitian dari Kurniawati dan Suarya (2019), kecemasan pada remaja perempuan dengan berat badan berfokus pada cemas karena berat badan bertambah, cemas mengalami penyakit nanti, cemas terhadap aktivitas yang dilakukan, cemas dalam mencari pasangan, cemas jika diejek lagi, cemas ketika memakai pakaian, dan cemas kalori masuk ke dalam tubuh.

Dalam buku Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Diagnosis, Tata Laksana, dan Pencegahan Obesitas pada Anak dan Remaja. Dikatakan bahwa latihan fisik yang diberikan sesuai tingkat motorik, kemampuan fisik, dan umurnya, dapat membantu mengurangi obesitas. Pada anak usia sekolah, dapat diberikan latihan fisik seperti bersepeda, berenang, menari, karate, senam, sepak bola, dan basket. Bisa juga dengan berjalan kaki atau turun naik tangga. Selain itu, dapat mengurangi lama menonton televisi/komputer/gawai.

Orangtua menjadi contoh untuk anak. Seperti yang kita tau, cara belajar anak paling mudah adalah dengan meniru. Secara sadar dan tanpa sadar, orangtua menjadi panutan bagi anak. Itulah mengapa sebagai orangtua perlu melakukan berbagai perubahan dulu, agar anak mengikuti. Ditemukan pula ada 5 dasar body positivity parenting menurut Zoe dan Leslie dalam Bisbing (2020), yaitu (1) budaya diet, (2) memahami sehat dan berat badan tidak sama, (3) pahami genetik tubuh anak, (4) meningkatkan kesadaran dan intuisi dalam hal makan, dan (5) bersatu sebagai tim.

Secara lebih detail tentang budaya diet yang berfokus pada self-compassion, dengan tujuan agar anak memahami citra tubuh atas dasar kualitas intrinsik, seperti kebaikan, kreativitas, wawasan, pentingnya kesehatan, dll bukan sekedar fokus pada penampilan. Orangtua dapat merefleksikan diri tentang budaya diet dan stigma berat badan, bukan sekedar menjadi bahan ejekan ataupun menyalahkan diri sendiri, justru sebaliknya perlu lebih self-compassion dan memiliki kesadaran. Orangtua juga dapat menyajikan makanan dengan gizi seimbang dan memperbanyak asupan sayur serta buah. Usahakan mengatur pola makan dengan 3 kali makan utama dan 2 kali snack. Jika perlu konsultasikan dengan dokter anak dan ahli gizi.

Kemudian, orangtua diharapkan paham antara kesehatan dan berat badan tidak sama, sehingga orangtua dapat lebih berfokus pada kesehatannya bukan sekedar berat badan. Orangtua juga dapat memantau perkembangan anak dan melakukan cek berkala dengan dokter serta ahli gizi. Ingat, targetnya bukan kurus atau gendut, tapi kesehatan tubuh anak lebih penting. 

Selanjutnya, apakah kita paham bahwa tubuh kita (tinggi, bentuk, berat) dikaitkan dengan genetik? Tubuh anak umumnya akan terlihat seperti orangtua mereka ataupun saudara atau bahkan generasi sebelumnya. Penting bagi orangtua untuk membangun kepercayaan diri dan rasa memiliki (self-belonging) agar merasa bangga atas dirinya sendiri. Orangtua dapat mengarahkan percakapan tentang fungsi tubuh dan bagaimana cara pandang tentang citra tubuh yang positif. 

Terkait sistem tubuh manusia, umumnya kita memahami kapan lapar ataupun kenyang, sehingga berdampak pada sikap makan dan bergerak secara intuitif. Peran orangtua dapat mempersiapkan dan memberikan strategi pemberian makan serta aktivitas yang sesuai, sehingga anak terlatih untuk menyadari kebutuhan tubuhnya. Kemudian, dapat melakukan pengawasan terhadap berat badan dan porsi makan yang masuk ke dalam tubuh. Lalu, orangtua juga dapat memilihkan makanan rendah kalori. Tidak lupa berikan penghargaan dan pujian, jika anak berhasil mengikuti program diet maupun program olahraga lainnya.

Terakhir, ingatlah bahwa orangtua dan anak adalah satu tim untuk membangun pandangan positif tentang citra tubuh mereka. Jadi, bukan sekedar beri perintah ataupun kasih aturan untuk jaga makan, tapi membuat anak menyadari bahwa orangtua mendukung anak demi kepentingan dirinya sendiri.[]

By: Octavia Putri, M. Psi, Psikolog

Sumber:

Basuki, G., & Hartati, S. (2013). Makna Obesitas. Jurnal Empati, Vol. 2 (3)

Bisbing, Z. (2020). The Five Fundamentals of body positive parenting. Diakses dari https://www.mothermag.com/body-positive-parenting/

www.hdruk.ac.uk/case-studies/understanding-the-genetics-involved-in-obesity

www.idai.or.id/professional-resources/pedoman-konsensus/diagnosis-tata-laksana-dan-pencegahan-obesitas-pada-anak-dan-remaja

kbbi.web.id/obesitas

p2ptm.kemkes.go.id/uploads/N2VaaXIxZGZwWFpEL1VlRFdQQ3ZRZz09/2018/02/FactSheet_Obesitas_Kit_Informasi_Obesitas.pdf

Kurniawati, N. W., & Suarya, L. M. K. (2019). Gambaran kecemasan remaja perempuan dengan berat badan berlebih. Jurnal Psikologi Udayana. Vol. 6(2)

Rahayu, D. T., & Husnina, L. (2019). Obesitas Dengan Harga Diri pada Remaja Putri Kelas X SMK YP 17 Kediri. Jurnal Gizi KH, 2(1), 1–7.