Apakah kamu pernah merasa malas, tidak termotivasi, bahkan enggan untuk bekerja? Perasaan yang demikian memang wajar dialami oleh setiap orang, tapi bila rasa lelah tidak hilang walau sudah istirahat cukup, dan sejumlah perasaan seperti di atas, tidak menutup kemungkinan kamu mengalami burnout, loh!
Apa sih, burnout? Burnout adalah keadaan kelelahan emosional, mental, dan seringkali berimbas pada fisik yang disebabkan oleh stres yang berkepanjangan atau berulang. Meskipun burnout paling sering disebabkan oleh tekanan di tempat kerja, burnout juga dapat muncul di bidang kehidupan lain, seperti saat mengasuh anak, sekolah, atau dalam hubungan romantis. Burnout bukanlah diagnosis medis, namun menurut World Health Organization (WHO) burnout termasuk dalam 11th Revision of the International Classification of Diseases (ICD-11) sebagai fenomena pekerjaan.
Burnout memiliki berbagai gejala. Adapun Tiga area atau dimensi utama yang dianggap sebagai penyebab burnout adalah:
- Kelelahan atau kehabisan energi (Exhaustion)
Kondisi dimana seseorang akan merasa lelah baik secara fisik maupun emosional dan tidak mampu mengatasinya, menjadi murung, dan merasa tidak memiliki energi yang cukup bahkan setelah bangun tidur di pagi hari. Hal ini mengacu pada perasaan berlebihan dan kehabisan sumber daya emosional dan fisik seseorang. Pada tahap ini, sering kali muncul pemikiran bahwa individu tidak yakin dapat melanjutkan pekerjaannya.
- Depersonalisasi (Cynicism)
Kondisi depersonalisasi akan membuat seseorang merasa pekerjaannya semakin membuat stres dan frustasi, sehingga muncul perasaan negativisme, sinisme terhadap pekerjaan dan juga koleganya, sarkasme, dan merasa butuh untuk melampiaskan hal-hal tersebut. Individu secara tidak sadar merasa kehilangan keterlibatan emosional terhadap pekerjaannya.
- Berkurangnya Profesionalisme
Kondisi ini mengacu pada perasaan tidak kompeten dan kurangnya pencapaian dan produktivitas dalam pekerjaan. Kelelahan dan munculnya perasaan negativisme dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menyelesaikan tugasnya. Orang yang kelelahan akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi, menjadi lesu, dan kurang kreatif sehingga performanya dalam bekerja dapat berkurang.
Memiliki pekerjaan dengan tingkat stress yang tinggi tidak selalu menyebabkan burnout. Jika kamu dapat mengelola stres dengan baik, maka besar kemungkinannya kamu tidak mengalami efek dari burnout. Namun, memang terdapat beberapa individu dengan pekerjaan tertentu yang berisiko lebih tinggi untuk mengalami burnout, misalnya pekerja sosial, tenaga medis maupun profesi lain yang berhubungan dengan kemanusiaan. Meskipun burnout bukanlah diagnosis medis, hal tersebut tidak berarti bahwa burnout dapat disepelekan. Sangat penting bagi individu untuk peka terhadap kondisi dirinya sendiri. Berikut ini adalah beberapa gejala yang harus kamu perhatikan,
- Gejala burnout secara mental
- Merasa energi terkuras hampir sepanjang waktu
- Merasa tidak berdaya dan lelah
- Adanya pikiran untuk bunuh diri
- Memiliki pandangan sinis atau negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain
- Menunda-nunda dan membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan sesuatu
- Gejala burnout secara fisik
- Mengalami masalah pencernaan
- Tekanan darah yang meningkat
- Sakit kepala yang berulang
- Daya tahan tubuh berkurang
- Masalah tidur
Proses burnout terjadi secara bertahap. Fenomena ini tidak terjadi dalam semalam, namun secara berulang. Seiring berjalannya waktu, gejala dan tanda yang ditimbulkan dari burnout dapat semakin memburuk. Pikirkan gejala awal sebagai tanda bahaya bahwa ada sesuatu yang salah yang perlu ditangani. Jika individu memperhatikan dan secara aktif dapat mengelola stress, individu dapat dengan mudah mencegah burnout. Namun jika individu mengabaikan gejala awal, maka akan semakin sulit untuk mengatasinya.
Terdapat dua mekanisme dasar untuk mewujudkan keseimbangan energi positif, yaitu menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kemampuan untuk mengisi ulang energi (recharge your energy). Sebagian besar tenaga kesehatan akan mengkombinasikan keduanya untuk mencegah terjadinya burnout. Beberapa ada yang mengobati setelah burnout terjadi, sementara yang lainnya fokus untuk pencegahan dengan mempromosikan keterlibatan burnout pada pekerjaan. Intervensi tersebut dapat terjadi di tingkat individu, kelompok kerja, hingga seluruh organisasi. Diperlukan strategi yang baik untuk mencegah gejala burnout yang terjadi secara berulang, antara lain:
- Mengganti pola bekerja (seperti mengurangi beban kerja dan mengurangi kerja lembur)
- Menerapkan work-life balance
- Mengembangkan kemampuan koping stress
- Mencari dukungan sosial baik dari kolega, pasangan maupun keluarga
- Memanfaatkan waktu istirahat untuk relaksasi
- Mengembangkan pemahaman diri yang lebih baik melalui berbagai teknik analisis diri, konseling, atau terapi.
Pekerjaan bukanlah satu-satunya sumber stres kronis yang menyebabkan burnout. Orang tua, pasangan, murid, mahasiswa, dan pengasuh non-profesional juga dapat mengalami burnout, merasa kewalahan dengan tanggung jawab mereka, atau diam-diam percaya bahwa mereka telah gagal dalam peran mereka. Pada perempuan yang bekerja dan berperan sebagai ibu rumah tangga, burnout lebih rentan untuk terjadi. Hal ini disebabkan oleh beban pekerjaan di kantor, ditambah dengan campur tangan keluarga serta beban pekerjaan di rumah dapat membuat perempuan mengalami kelelahan yang luar biasa. Selain itu di masa pandemi ini, terdapat kekhawatiran tentang bagaimana metode kerja “hybrid” dapat berdampak pada kesetaraan gender di tempat kerja. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin untuk ditempatkan bekerja dari rumah dalam kondisi pasca pandemi, sehingga cenderung tidak mendapat promosi dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki lebih banyak waktu untuk bertatap muka secara langsung dengan atasannya. Dalam hal ini, orang yang memiliki jabatan lebih tinggi perlu memikirkan kembali bagaimana perusahaan harus mempromosikan karyawan mereka dengan lebih adil, sehingga adanya kesetaraan kesempatan bagi seluruh karyawan.
Belajar untuk mengenali gejala dari burnout dan memiliki kendali yang baik atas tubuh dapat melindungi diri sebelum menjadi tidak terkendali dan tidak sehat. Jika kamu mengalami masalah, ketahuilah, bahwa kamu tidak sendirian, dan jika kamu merasa tidak mampu untuk menanganinya, kamu dapat menghubungi tenaga profesional untuk meminta pertolongan.
By: Siti Chairunnisa
Referensi:
Cox, Josie. (2021). Why women are more burned out than men. Retrieved from: https://gdc.unicef.org/resource/why-women-are-more-burned-out-men
Drummond, D. (2016). Part I: Burnout Basics – Symptoms, Effects, Prevalence and the Five Main Causes. Missouri Medicine, 113(4).
Institute for Quality and Efficiency in Health Care. (2016). Depression: What is burnout?. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279286/
Maslach, C., Leiter, M. P. (2016). Understanding the burnout experience: recent research and its implications for psychiatry. World Psychiatry, 15(2).
Maslach, C. (2015). Burnout, Psychology of. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 929–932.
Mayo Clinic Staff. (2021). Job burnout: How to spot it and take action. Retrieved form: https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/adult-health/in-depth/burnout/art-20046642
Psychology Today. (n.d.). Burnout. Retrieved from: https://www.psychologytoday.com/us/basics/burnout
Scott, Elizabeth. (2022). How to Recognize Burnout Symptoms. Retrieved from: https://www.verywellmind.com/stress-and-burnout-symptoms-and-causes-3144516#toc-symptoms-of-burnout
World Health Organization. (2019). Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases. Retrieved from: https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases
0 Comments
Leave A Comment