Lingkungan kerja yang aman merupakan faktor penting dalam kesejahteraan pekerjanya. Sayangnya, masih banyak perlakuan yang merugikan dan menyakiti pekerja seperti kasus sexual harassment di tempat kerja. Penelitian meta-analisis yang dilakukan McDonald (2012) membantu kita memahami poin-poin penting terkait  sexual harassment.

Apa itu sexual harassment di tempat kerja?

Sexual harassment merupakan perilaku terkait seksual yang tidak diinginkan di tempat kerja, yang dinilai korban sebagai perilaku ofensif, melebihi kapasitasnya dan mengancam kesejahteraannya. Pelaku melakukan sexual harassment dengan tujuan untuk mengintimidasi, mengancam, merendahkan dan mempermalukan korban. 

Bagaimana kasus sexual harassment di tempat kerja?

Sexual harassment dapat terjadi karena adanya eksploitasi relasi kuasa di tempat kerja. Tidak hanya dari atasan ke bawahannya, sexual harassment dapat terjadi ke sesama rekan kerja ketika seseorang merasa dirinya lebih dominan dari korban, misalnya dalam konteks gender, suku atau orientasi seksual. Sexual harassment yang dilakukan rekan kerja pun dapat terjadi di dalam lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja. 

Bentuk sexual harassment dapat dilihat dalam rentang yang kontinum dari yang ”tidak berbahaya” sampai yang mengancam secara fisik dan psikologis. Bentuk sexual harassment secara non-fisik seperti melontarkan komentar atau lelucon berbau seksual, ungkapan mengenai bentuk tubuh atau menyatakan keinginan untuk melihat bentuk tubuh, ajakan untuk melakukan hubungan seksual, kata-kata kasar dan merendahkan, menunjukkan bagian tubuhnya pada korban dan mengajukan pertanyaan mengenai seksual dan privasi.

Selain itu terdapat bentuk sexual coercion, yaitu aktivitas seksual yang tidak diinginkan dan terjadi karena adanya paksaan non fisik, misalnya dibohongi, diancam pemotongan gaji atau dikeluarkan, diancam mengenai karir, diimingi kenaikan bonus atau promosi. Hal ini membuat korban merasa terpaksa dan berhutang untuk melakukan perilaku seksual.

Secara fisik sexual harassment dapat berupa mencium, menyentuh, memeluk, mencubit, memegang, menggigit, memukul, menjilat, membuka baju dan upaya perkosaan. Umumnya sexual harassment yang dialami korban terjadi lebih dari satu bentuk dan dapat terjadi eskalasi. Pelecehan verbal biasanya dianggap lebih tidak mengancam dan diterima lingkungan sehingga korban mungkin berusaha untuk memaklumkan.

Bagaimana dampak dari sexual harassment pada korban?

Seperti kasus yang terjadi pada umumnya, korban sexual harassment di tempat kerja dapat mengalami distress secara psikologis dan fisik. Timbulnya perasaan terganggu, kemarahan, kecemasan, rasa tidak berharga dan tidak berdaya, merasa dipermalukan dan depresi. Distress yang tidak ditangani pun dapat menimbulkan post traumatic stress disorder (PTSD). Dari segi pekerjaan pun perilaku ini dapat berdampak pada menurunnya kepuasan kerja, meningkatnya absensi, menurunnya komitmen hingga mengundurkan diri. Penelitian menemukan pada dampak sexual harassment dapat semakin buruk di lingkungan kerja yang didominasi laki-laki dan terjadi dalam jangka waktu yang panjang,

Hambatan yang dialami korban untuk melapor

Kasus sexual harassment di tempat kerja yang terungkap bagaikan tip of the iceberg, yang mana hanya sebagian kecil yang terlihat dari kenyataannya. Hal ini berarti meskipun kasus yang dilaporkan hanya sedikit, namun masih banyak kasus nyata lainnya yang terjadi. Menurut data yang pernah diambil di populasi US, setidaknya 20% pekerja pernah mengalami sexual harassment di masa kerjanya. Terdapat faktor dari dalam diri maupun lingkungan yang membuat korban tidak semudah itu untuk melaporkan kasus pelecehan yang ia alami.

Distress dalam diri korban.

Penelitian menemukan bahwa korban sexual harassment di tempat kerja cenderung mengecilkan perlakuan pelecehan yang diterimanya. Pada tempat kerja yang didominasi laki-laki, perempuan merasa enggan untuk mengungkapkan pelecehan yang terjadi karena tidak ingin dianggap terlalu sensitif dan tidak kompeten, serta rasa tidak ingin dinilai sebagai korban. Seringkali korban juga ragu apabila ia benar-benar mengalami pelecehan, terutama ketika lingkungan seakan meniadakan ketidaknyamanan yang ia alami. Di luar itu juga dipengaruhi ketidaktahuan korban mengenai sumber daya yang bisa membantunya jika ia melapor dan menerima penalti yang merugikannya (misalnya dikeluarkan dari tempat kerja).

Lingkungan kerja yang lembek terhadap kasus sexual harassment

Korban akan menilai sejauh mana tempat kerja mentoleransi tindakan pelecehan dan bagaimana mereka menangani kasusnya. Jika lingkungan kantor menunjukkan sikap memaklumi pelecehan, korban pun ragu apabila kantor akan memberikan tindakan lanjut pada pelaku. Bisa saja justru tempat kerja tidak mengindahkan keluhannya dan justru memberikan sanksi atau ancaman pada korban karena dianggap memberikan nilai buruk pada tempat kerja. Akhirnya ia menghayati bahwa sexual harassment merupakan hal yang wajar terjadi dan tidak dapat dihindari di lingkungan kerja. Korban yang mengungkapkan kasusnya umumnya karena sudah tidak tahan dengan perlakuan yang diterima dari tempat kerjanya, misalnya jika sudah terjadi aktivitas seksual yang dipaksa.

Apa yang bisa kita lakukan?

  1. Pelatihan mengenai sexual harassment yang dilakukan di tempat kerja. Pelatihan ini membantu pekerja untuk memahami apa itu pelecehan seksual, bagaimana bentuknya di tempat kerja dan memahami dinamika relasi kuasa di tempat kerja yang dapat disalahgunakan.
  2. Bystander (pengamat) dapat memiliki pengaruh dalam menginterupsi situasi pelecehan Apabila kita sebagai bystander menyaksikan secara langsung tindakan pelecehan yang terjadi di lingkup kerja, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan berdasarkan seberapa cepat kita bertindak (immediacy) dan seberapa terlibat (involve) pada kasus (McDonald, Charlesworth & Graham, 2016): 
High immediacy- low involvementMemberikan tanda jika pelecehan terjadi atau pelaku menghampiriMengalihkan/mendistraksi pelaku dari situasi pelecehanMenginterupsi tindakan pelecehan tanpa melakukan konfrontasiHigh immediacy- high involvementMengkonfrontasi pelaku langsung saat kejadian pelecehanMenghadang / memberikan perlindungan fisik pada korbanMengungkapkan secara terang-terangan tindakan pelecehan yang dilakukan pelaku 
Low immediacy-low involvementMemberikan dukungan pada korbanMengakui bahwa korban mengalami pelecehan karena korban pun dapat meragukan dirinya sendiriMemberikan saran bagaimana harus bertindak ke depannya dalam situasi serupaLow immediacy-high involvementMembuat laporan kepada perusahaan atas situasi yang dialami korbanMengkonfrontasi pelaku dan mengingatkan perbuatannya salah setelah kejadianMendampingi korban membuat laporan tindak pelecehan

Sedikitnya pengungkapan kasus bukan berarti ketiadaan kasus. Bagaimanapun bentuk dukungan yang mampu kita lakukan, kesediaan kita untuk berdiri bersama korban merupakan hal yang penting untuk melawan segala bentuk tindak sexual harassment di tempat kerja.

By: Karina Devany, M.Psi, Psikolog

Sumber:

McDonald, P. (2012). Workplace sexual harassment 30 years on: A review of the literature. International Journal of Management Reviews, 14(1), 1-17.

McDonald, P., Charlesworth, S., & Graham, T. (2016). Action or inaction: Bystander intervention in workplace sexual harassment. The International Journal of Human Resource Management, 27(5), 548-566.

www.womenshealth.gov/relationships-and-safety/other-types/sexual-coercion