“Grief is not a disorder, a disease or a sign of weakness. It is an emotional, physical and spiritual necessity, the price you pay for love. The only cure for grief is to grieve.” – Earl Grollman

Kematian atau kehilangan orang lain, memberikan perasaan duka tersendiri bagi semua orang. Untuk orang dewasa, mungkin sudah dapat mengontrol perasaannya, tapi bagaimana dengan anak kecil? Mungkin mereka pun belum mampu menamai perasaan diri sendiri atau mereka belum tau konsep ‘meninggal’. 

Sulit bagi orangtua atau orang dewasa menjelaskan hal ini kepada anak-anak. Walaupun ada beberapa anak yang sudah secara tidak langsung atau tanpa disadari memahami konsep kematian melalui dongeng maupun televisi.

Beberapa cara dapat dicoba untuk menjelaskan kematian kepada anak. Pertama, kita perlu melihat usia anak tersebut dan jelaskan sesuai usia mereka. Gunakan Bahasa yang dapat dipahami anak dengan sederhana dan jangan berkata “Meninggal atau mati merupakan bentuk dari tidur lama.” Karena anak tau bahwa kalau tidur akan bangun lagi. Tapi berbeda dengan kematian. Hal ini sesuai dengan artikel dari (Lyness, 2021), sebagai orang dewasa perlu menggunakan kata sederhana yang dipahami anak.

Sebagai orang dewasa bisa jelaskan bahwa tubuhnya sudah tidak bergerak atau pun sudah tidak bernafas lagi atau sudah tidak bernyawa lagi hingga mungkin anak tidak dapat melihatnya lagi. Untuk anak 5 tahun umumnya mereka paham tentang konsep tubuh. Sementara anak usia 3 atau 4 tahun, mereka tau konsep awal dan akhir, sehingga bisa dijelaskan ada kehidupan dan akhir hidup.

Kedua, gunakan contoh sekitar anak. Misalnya mengapa tumbuhan atau hewan peliharaan bisa mati. Jelaskan bahwa tumbuhan atau hewan peliharaan mati dan tidak bisa hidup kembali. Gunakan konsep mati dan meninggal. Untuk hewan dan tumbuhan bisa pakai kata mati, sementara untuk orang dapat menggunakan kata meninggal. Perlu waktu untuk si kecil paham. Selain itu, dapat bekerjasama dengan professional. Menurut (Ferow, 2019), terapi kreatif atau ekspresif seperti seni, musik, drama, dan tulisan membantu seorang anak mengungkapkan apa yang sulit untuk dikatakan. Latihan seperti yang belum selesai kalimat atau menulis surat kepada orang yang dicintai yang meninggal.

Ketiga, Manfaatkan buku cerita dan televisi untuk membantu menjelaskan. Saat membaca buku cerita atau dongeng bersama dengan tema kematian, kita bisa tanyakan menurut si kecil apa yang dimaksud dengan kematian dari si karakter dalam cerita atau televisi. Dari jawabannya, kita bisa tambahkan lagi sesuai dengan tingkat pemahaman usianya. Hal ini didukung oleh penelitian dari (Heath et al., 2008), dimana menurut mereka pilihlah buku yang menggambarkan aspek emosional dari menghadapi kematian, termasuk berbagai perasaan realistis seperti kesedihan, kemarahan, penyangkalan, rasa bersalah, dan kebingungan.

Keempat, menjelaskan perasaan sedih dan berduka adalah hal wajar. Layne dalam (Alvis et al., 2022), menjelaskan manifestasi rasa duka dan kehilangan mungkin menggambarkan mengenai keadaan kematian, emosi negatif yang intens (marah, marah, ngeri, jijik, malu), pikiran dan keyakinan yang menyedihkan mengenai cara kematian almarhum, termasuk menyalahkan diri sendiri dan orang lain, kebingungan, dll. Saat kehilangan orang yang dekat, kejadian tersebut menyebabkan perasaan sedih dan berduka karena perasaan tersebut wajar. Bahkan jika ada orang yang menunjukkan dengan menangis dan tidak perlu disembunyikan, merupakan hal yang biasa. Bisa juga kita kasih contoh, “Ibu sedang sedih dan berduka karena dia meninggal. Kalau adik gimana perasaannya?”

Ingat, anak kecil cenderung peka dengan perasaan atau perubahan suasana hati orang lain. Jadi, ungkapkan yang sebenarnya yang dirasakan kita. Justru saat kita menyembunyikan perasaan, malah membuat anak bingung dan khawatir, perasaan mana yang seharusnya dikeluarkan dan mana yang harus direspon.

Jika anak belum bisa menerima kenyataan dan justru menampilkan perasaan marah atau rasa bersalah, kita sebagai orang dewasa perlu meyakinkan bukan salah dirinya atau pun salah orang lain. Dampingi anak secara fisik dan emosional sampai ia merasa tenang. Bahkan siap-siap jika anak-anak bertanya berbagai macam hal. Berikan dia waktu untuk pulih dan mengelola perasaannya.

Kelima, kenalkan dan libatkan anak dalam proses pemakaman (perhatikan usia mereka juga). Untuk anak usia sekolah, orang dewasa bisa meminta dia untuk melakukan hal kecil, seperti menyiapkan minum untuk tamu dan menabur bunga. Tapi, tanyakan dulu apakah dia siap melakukannya dan apakah ia ingin mengambil bagian dari hal ini. 

Hal ini sejalan dalam penelitian (Schonfeld et al., 2016), dengan melibatkan anak untuk berpartisipasi, seperti bangun bagi, pemakaman, menyambut tamu, atau upacara peringatan. Melalui hal tersebut secara tidak sadar akan memberikan informasi dasar yang sederhana mengenai tentang pengalaman tersebut. Misalnya, sertakan informasi tentang apakah akan ada peti mati terbuka dan ritual budaya dan agama yang diantisipasi, serta bagaimana orang diharapkan berperilaku saat mengalami kedukaan. Tanyakan kepada anak-anak informasi tambahan apa yang mereka butuhkan dan inginkan. Anak-anak tidak boleh dipaksa untuk berpartisipasi dalam ritual tertentu atau menghadiri pemakaman, jika mereka tidak mau.

Keenam, kembali kerutinitas biasa. Rasa duka memang perlu diakui, tetapi bukan harus berlarut dalam kesedihan. Setelah proses pemakaman dan ritual yang perlu dilakukan, maka kita tetap perlu kembali kegiatan atau aktivitas sehari-hari agar tidak menimbulkan ketakutan tentang kematian pada anak. Jadwal teratur dapat membantu anak mengelola perasaan dan memberikannya rasa aman. Misalnya, dapat bermain dengan temannya di sekolah atau pun beraktivitas di taman bersama tetangga.

Jika dirasa perlu bantuan, dapat membawa anak ke psikolog. Apalagi ketika anak terlihat murung, sulit tidur, tidak mau makan, merasa tertekan, menangis tanpa henti, menutup diri, dan perubahan sikap lainnya pasca kehilangan orang terdekat.

By: Octavia Putri, M. Psi., Psikolog

Referensi:

Alvis, L., Zhang, N., Sandler, I. N., & Kaplow, J. B. (2022). Developmental Manifestations of Grief in Children and Adolescents: Caregivers as Key Grief Facilitators. Journal of Child and Adolescent Trauma, 0123456789. https://doi.org/10.1007/s40653-021-00435-0

Ferow, A. (2019). Childhood Grief and Loss. The European Journal of Educational Sciences, 06(October), 1–13. https://doi.org/10.19044/ejes.s.v6a1

Heath, M. A., Leavy, D., Hansen, K., Ryan, K., Lawrence, L., & Gerritsen Sonntag, A. (2008). Coping with grief: Guidelines and resources for assisting children. Intervention in School and Clinic, 43(5), 259–269. https://doi.org/10.1177/1053451208314493

Lyness, D. (2021). When a Loved One Dies: How to Help Your Child. https://kidshealth.org/en/parents/death.html

Schonfeld, D. J., Demaria, T., Berry, S., Yogman, M., Bauer, N. S., Gambon, T., Lavin, A., Lemmon, K., Mattson, G., Rafferty, J., Wissow, L., Carmichael, T., Christopherson, E. R., Johnson, N., Sulik, L. R., Cohen, G., Domain, S., Krug, S. E., Chung, S., … Haro, T. M. (2016). Supporting the grieving child and family. Pediatrics, 138(3). https://doi.org/10.1542/peds.2016-2147