“They who do not know history tend to repeat it” (Deborah Lisptadt)

Sabtu, 16 September 2017, YLBHI merencanakan untuk mengadakan acara seminar terkait dengan pengungkapan kebenaran kasus 1965. Sayangnya, acara ini tidak terjadi karena sejak hari Jumat sudah banyak propaganda berita palsu serta instruksi di media sosial untuk menyerbu gedung YLBHI yang berada di Jl. Diponegoro Jakarta Pusat. Massa yang mendatangi kantor YLBHI menginginkan agar acara ini di batalkan oleh pihak penyelenggara. Dengan di batalkannya acara tersebut, pihak penyelenggara mengadakan acara yang bertajuk “Asik Asik Aksi” pada hari Minggu, yang sebenarnya merupakan acara musik dengan tujuan mengkritik pelanggaran di adakannya acara seminar pengungkapan kasus 1965.

Sebetulnya, kasus ’65 sudah lama menjadi isu yang sangat seksi dan akan selalu hangat untuk diperbincangkan oleh berbagai pihak. Paling tidak selama 19 tahun belakangan, ketika banyak orang sudah mulai berani untuk mengungkapkan kebenaran. Akan selalu ada pihak pro rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran serta pihak yang kontra. Kenapa ada pihak yang kontra? Padahal kalau kita berbicara mengenai rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran pastinya akan ada keadilan bagi semua korban yang dulu pernah di anggap PKI dan di penjara tanpa adanya proses keadilan (bahkan banyak pula yang mengalami kekerasan seksual), bagi anggota keluarganya (sampai ke anak – cucu), bahkan bagi bangsa ini.

Trauma Kolektif, Memori Kolektif, dan Identitas Kelompok

Ketika berbicara mengenai trauma, seringkali di asosiasikan dengan seseorang yang mengalami kejadian tertentu, yang sangat mendadak sifatnya, serta memberikan dampak tekanan emosional serta psikologis yang besar. Secara singkat, trauma bisa juga di artikan sebagai sebuah dampak yang di alami oleh seseorang akibat sebuah kejadian yang bersifat buruk serta sangat mendadak. Hal inilah yang di sebut sebagai trauma individual. Sementara itu, trauma kolektif mengacu pada dampak dari kejadian negatif yang di alami oleh kelompok tertentu, komunitas, ataupun bangsa. Lalu bagaimana dengan konteks ’65, yang kejadiannya dapat di katakan menimpa bangsa Indonesia?

Kejadian ’65 memiliki dampak masif bagi bangsa Indonesia karena menelan banyak korban jiwa, bahkan menurut para pegiat  Hak Asasi Manusia (HAM), peristiwa ’65 merupakan pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

Pemberitaan mengenai pembunuhan 7 orang jendral secara sadis oleh Gerwani – salah satu organisasi yang dekat dengan PKI – menjadi mimpi buruk tersendiri bagi masyarakat pada saat itu. Image yang dibangun mengenai kekejaman dan sadisme PKI serta simpatisan-simpatisannya, termasuk Gerwani, membuat masyarakat menjadi sangat ketakutan dan anti terhadap PKI beserta simpatisannya.

Sejak saat itu, selama satu tahun (1965 – 1966), pemerintah melakukan berbagai upaya yang sistemik untuk membubarkan serta menghancurkan PKI dari Indonesia (Jawa dan Bali adalah yang terbesar). Termasuk para simpatisannya, Gerwani, yang di larang keberadaannya. Ribuan anggota Gerwani yang tersebar di Indonesia ditangkap, diperkosa, di masukan ke penjara tanpa proses peradilan, bahkan di bunuh. Berlaku hal yang sama bagi semua orang yang di anggap PKI maupun simpatisan PKI. Jumlah korban mencapai ratusan ribu bahkan jutaan orang.

Dari sinilah trauma kolektif terbentuk dalam masyarakat Indonesia dan pada akhirnya terdapat 2 kelompok korban. Kelompok pertama adalah masyarakat yang terpapar informasi mengenai kekejaman PKI beserta simpatisannya. Adapun kelompok kedua adalah masyarakat yang di tuduh sebagai PKI atau simpatisannya, yang pada akhirnya mengalami pembantaian, pemerkosaan, serta masuk penjara sampai ke pengasingan. Dampak perlakuan tersebut selain pada individu yang bersangkutan juga terhadap keluarga dan sanak saudaranya yang lain.

Lalu atas nama “memahami sejarah”, Pemerintah Orde Baru kala itu mewajibkan televisi menayangkan film G30S/PKI diputar setiap tahunnya. Melihat pola tersebut dapat dilihat betapa trauma kolektif ini tidak pernah di izinkan untuk pulih, namun terus dipelihara keberadaannya. Trauma kolektif ini memunculkan prasangka-prasangka bagi kedua kelompok korban. Masing-masing saling menyalahkan dan meminta hak untuk di dengar dan di membeberkan kebenaran. Inilah yang kemudian di sebut sebagai memori kolektif serta menjadi identitas kelompok tertentu.

Kedua kelompok ini sebenarnya adalah korban yang tidak pernah di pulihkan, namun tetap di rawat traumanya sampai saat ini. Sehingga tidak mengherankan, mengapa dari dulu sudah ada 2 kelompok yang akan saling bertentangan ketika berbicara mengenai kejadian ’65. Berbagai pihak yang berupaya untuk memulihkan kedua kelompok korban ini juga selalu saja menemui hambatan ketika ingin membantu memulihkan mereka.

Memulihkan Trauma Kolektif

Ketakutan, kebencian, rasa malu, serta prasangka akibat peristiwa traumatis yang telah menjadi sebuah memori kolektif serta membentuk identitas kelompok sulit untuk dihilangkan. Hal ini terjadi karena telah adanya penguatan serta pengukuhan yang berulang (pemutaran film G30S/PKI, narasi dari generasi-generasi, monumen-monumen, dan lain-lain), sehingga kelompok-kelompok yang di sebut sebagai korban tadi cenderung tidak ingin melupakan trauma tersebut. Belum lagi adanya distorsi dalam narasi akibat memori manusia yang terbatas serta fakta-fakta sejarah yang memang sengaja di kaburkan untuk kepentingan tertentu. Hal ini yang kemudian dapat memperburuk memori kolektif.

Ketika kita melakukan refleksi, dapat di katakan peristiwa ’65 tidak akan pernah terulang lagi, karena kejadian tersebut merupakan suatu hal yang unik pada masanya. Sama seperti pembantaian Nazi di Holocaust juga tidak akan terjadi lagi, karena itu adalah satu peristiwa unik pada masanya. Meskipun demikian, dengan adanya trauma kolektif yang tidak pernah pulih justru memungkinkan peristiwa traumatis tersebut dapat terulang lagi. Keterulangan tersebut dapat di lihat dari berbagai peristiwa traumatis yang terjadi di Indonesia. Misalnya saja peristiwa Tanjung Priok, Dili, DOM di Aceh dan Papua, kerusuhan Mei 1998, sampai aksi-aksi yang sering kali mendeskreditkan kelompok tertentu.

Prasangka yang timbul akibat trauma kolektif tidak bisa di pulihkan dengan prasangka-prasangka baru yang di munculkan. Kuncinya adalah keberanian untuk berkomunikasi dan saling mendengarkan sudut pandang masing-masing kelompok korban. Jika ini tidak pernah ada, maka trauma kolektif tidak akan pernah pulih dan prasangka akan semakin meruncing. Beranikan diri untuk diam sejenak dan belajar dari sejarah karena kita mampu melawan proses penglupaan dan kelupaan akan sejarah.

Diam bukan berarti tidak melakukan apapun, namun mendengarkan dengan seksama serta melakukan refleksi secara mendalam. Distorsi narasi serta pengaburan fakta sejarah mengenai trauma kolektif membuat masing-masing dari kita tidak mau mendengarkan dengan seksama, tapi dipaksa mendengar untuk percaya. Dari sinilah tercipta prasangka-prasangka yang akan semakin terdistorsi akibat pengaruh emosi negatif yang kita rasakan. Dengan diam dan berefleksi, sebenarnya kita bisa mengenali prasangka tersebut dan tidak bertindak gegabah.

Diam bisa di dapat ketika hati dan pikiran kita tenang dan hal ini dapat di raih ketika kita berani untuk mendengarkan. Ketika mendengarkan, kita menjadi paham mengenai diri kita sendiri dan orang lain. Hal ini tentu saja butuh proses bagi kita semua sebagai bangsa Indonesia, sebagai dua kelompok yang menjadi korban. Trauma kolektif ini dapat kita pulihkan salah satunya dengan cara membiarkan masyarakat bercerita di dalam ruang publik tentang sejarahnya sendiri, sehingga kita sama-sama saling memahami atas identitas kelompok yang kemudian akan menjadi identitas bangsa Indonesia.

Pada akhirnya semua proses diam, berefleksi, dan mendengarkan bisa kita dapatkan ketika kita sama-sama berani mengambil sikap. Tidak mudah terpancing dengan prasangka-prasangka dan tentunya dukungan dari pemerintah yang berani mengambil tindakan untuk mengakomodir kedua kelompok korban. Dan lagi-lagi, semua ini butuh waktu yang panjang dan proses yang tidak mudah. Asal kita sama-sama berani, semuanya bisa terwujud.[]

Penulis: Jane L. Pietra