Berada dalam masa pandemi seperti saat ini tentu membuat orang mengalami beberapa perubahan dalam hidup, terutama pada keluarga yang memiliki anak di rumah. Bagaimana sebenarnya situasi anak-anak di dunia pasa masa pandemi ini, data dari Unicef (2020) menyebutkan kalau terdapat 2,34 milyar anak yang berusia dibawah 18 tahun, selain itu sekitar 186 negara saat ini juga terkena pembatasan fisik (physical distancing). Sebesar 32% anak dengan simptom pneumonia tidak mendapat pelayanan kesehatan dan 40% masyarakat di dunia atau sekitar 3 milyar orang kekurangan fasilitas sabun dan air bersih. Perubahan pun tidak hanya terjadi di rumah, sebesar 91% murid mengalami perubahan sekolah. Yang paling mengkhawatirkan adalah 2 dari 3 anak di dunia menjadi korban kekerasan domestik.
Bagaimana dengan kondisi kesehatan mental keluarga selama berada di rumah? Penelitian yang dilakukan di UK menunjukkan kalau 28% orang tua dengan anak lebih rentan terkena “trauma-related mental health disorder” yang dikarenakan orang tua harus mengelola pengasuhan, relasi pasangan, mengurus rumah tangga, dan mencari nafkah. Kesehatan mental anak yang harus diperhatikan adalah respon stres mereka, seperti cemas akan perubahan. Aspek perubahan yang terjadi pada keluarga selama masa pandemi ini meliputi rutinitas sanitasi (memastikan anggota keluarga mengikuti pedoman kebersihan seperti rajin mencuci tangan); kegiatan harian; peranan sehari-hari; pola interaksi dan komunikasi; dan kondisi psikologis khususnya respon emosional yang lebih intens.
Baca juga: Tips Mencegah KDRT di Masa COVID-19
Perubahan yang terjadi pada tiap anggota keluarga juga berbeda-beda. Pada ayah, terjadi perubahan rutinitas kerja, pembagian waktu dan kegiatan, serta peranannya dalam kegiatan rumah tangga. Pada ibu, perubahan yang terjadi dapat berupa rutinitas bekerja (jika bekerja), perubahan ruang pribadi (me time), dan beban perkerjaan rumah tangga yang cenderung bertambah. Pada anak dan remaja, perubahan yang terjadi meliputi perubahan rutinitas sekolah atau belajar mengajar, perubahan kegiatan bersosialisasi, kegiatan hobi dan outdoor, serta perubahan relasi keluarga yang lebih intens. Pada anggota keluarga lainnya, bisa terjadi perubahan pada rutinitas harian, menambahnya tugas atau peranan, dan perubahan relasi antar keluarga lebih intens.
Tidak menampik kalau perubahan-perubahan yang terjadi pada masa pandemi dapat memberikan dampak dan masalah pada anggota keluarga. Berdasarkan review yang diambil dari 3166 hasil penelitian dari database online, melaporkan bahwa dampak negatif terhadap kondisi psikologis yang terjadi selama masa karantina yaitu gejala post-traumatic stress, kebingungan, dan kemarahan. Gejala ini dapat berdampak dalam jangka panjang.
Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) wilayah Jakarta mengatakan kalau hingga Senin 13 April 2020, terdapat 430 klien yang terdaftar, dengan jumlah 227 orang klien yang terlayani sampai 14 April 2020. Usia klien termuda adalah 15 tahun dan usia klien tertua adalah 72 tahun, dengan rata-rata 70 klien yang ditangani setiap harinya. Yayasan Pulih sendiri membuka layanan konseling gratis selama masa pandemi untuk kasus kekerasan berbasis gender seperti KDRT. Layanan yang dibuka sejak 13 April 2020 telah mendapat 16 kasus klien perempuan yang mendaftar, dengan 14 kasus diantaranya dimana pelaku kekerasan adalah keluarga atau pasangan. Pada konseling email juga ditemukan klien yang merasakan peningkatan stres karena harus tinggal dengan keluarga yang toxic selama isolasi. LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) saat ini sudah menerima 75 kasus kekerasan berbasis gender pada perempuan dan anak.
Baca juga: KDRT dalam Pandemi: Bukan Candaan dan Jangan Terabaikan
Beberapa gambaran kasus yang mungkin terjadi pada sebuah keluarga pada masa pandemi:
- Beban ganda bertambah: Sebagai adanya ketimpangan gender yang terjadi, perempuan cenderung memiliki tugas dan peranan bertambah karena semakin lamanya durasi bersama dengan anggota keluarga.
- Kurangnya me time: karena semakin banyak pula beban kerja di rumah, serta masing-masing anggota keluarga jugan memiliki intensitas pertemuan yang tinggi, maka akan semakin sulit bagi setiap anggota keluarga untuk memiliki waktu pribadi untuk melakukan self-care.
- Kecemasan berpengaruh pada relasi dengan anak: orang tua yang mengalami stres akibat beradaptasi dengan perubahan menjadi lebih mudah marah pada anak. Belum lagi ketika tugas-tugas sekolah anak yang saat ini juga melakukan school from home menjadi semakin banyak dan membutuhkan perhatian orang tua.
- Kebosanan serta “craving” relasi sosial: anak dan remaja yang cenderung melakukan eksplorasi dalam dunia sosialnya akan merasa terkurung dan kurang bersosialisasi karena ruang mereka menjadi sangat terbatas dan tidak bisa bertemu dengan teman-teman mereka.
- Kekhawatiran akan sumber penghasilan: orang tua yang bekerja menjadi lebih stres memikirkan pemasukan yang berkurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terutama bagi mereka yang bekerja di sektor non-formal.
- Kebingungan kondisi keluarga yang OTG, ODP, PDP: kondisi individu yang berelasi dengan Covid 19 rentan menghadapi stigma dan sulit untuk mengakses dan mendapatkan layanan yang baik. Hal ini tentunya akan memperburuk situasi kesehatan mental serta bagaimana stress yang dialami oleh sebuah keluarga, sehingga kemungkinan munculnya konflik akan lebih rentan.
- Kesulitan pengelolaan kegiatan belajar anak: orang tua dan sekolah (guru) gagap mengelola kondisi belajar jarak jauh sehingga muncul stres pada masing-masing pihak. Dengan kondisi yang serba digital saat ini, ada beberapa orang tua yang masih perlu beradaptasi dengan tugas dan cara belajar anak-anaknya saat ini.
Baca juga: Mengatasi Kesepian Saat Masa Karantina
by: Fairuz Nadia
Artikel ke-1 dari 2 artikel.
Artikel diambil dari presentasi Gisella Tani Pratiwi, M.Psi.,Psikolog, dalam Webinar Yayasan Pulih, 17 April 2020, dengan tema: Komitmen Pengasuhan Positif di Masa Pandemi.
0 Comments
Leave A Comment