Seolah tidak mengenal situasi dimana bangsa ini tengah berjuang keluar dari krisis pandemi Covid-19 yang merenggut banyak nyawa, tindakan pelecehan seksual justru terjadi di masa work from home (WFH). Tapi, bagaimana bisa pelecehan seksual terjadi saat WFH? Bukankah korban berada di kediamannya? Lalu, bagaimana pelaku melakukan aksinya?
Pelecehan seksual tidak hanya sebatas kekerasan seksual secara fisik, karena faktanya pelecehan seksual juga dapat terjadi secara online. Adapun pelecehan seksual secara online adalah tindakan yang menunjukkan perilaku seksual dan ajakan-ajakan berupa chat menggoda yang tidak diinginkan korban dapat dinyatakan sebagai salah satu tindak pelecehan seksual. Contoh lain mengirimkan foto/gambar tidak pantas tanpa izin dari korban. Itulah mengapa di masa WFH tindak pelecehan seksual tetap bisa terjadi. Jadi, melalui apa pelecehan seksual secara online terjadi? Menurut laporan yang dibuat Never Okay Project dan South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sebagaimana dimuat neverokayproject.org, aplikasi pengiriman pesan seperti WhatsApp, Line, Telegram, dan lainnya, menjadi saluran paling sering digunakan pelaku untuk melakukan pelecehan seksual, yakni mencapai 40%, media sosial 19%, saat konferensi video 16%, saluran online internal tempat bekerja 10%, email 7%, telepon 5%, dan SMS 3%. Lebih dari itu, Firma Keamanan Digital, Norton, dalam risetnya mengenai pelecehan seksual secara online mencatat, bahwa ada 76% dari 1000 responden perempuan yang berusia di bawah 30 tahun pernah mengalami pelecehan seksual secara online.
Pelecehan Seksual dan Relasi Kuasa
Mungkin sebagian kita berpikir, bukankah saat WFH pelaku pelecehan tidak sedang bersama korban, sehingga korban bisa saja menghindar mengingat korban sedang ada di kediamannya sendiri? Masih menurut data yang diperoleh dari Never Okay Project dan SAFEnet, dari 315 responden, ada 86 korban pelecehan seksual bekerja secara online dari rumah. Pelecehan seksual, terutama di dunia kerja, tetap bisa terjadi, dan biasanya pelaku memanfaatkan relasi kuasa yang dimilikinya. Itulah mengapa dalam modusnya pelaku memilih korban yang lebih lemah, usia lebih muda, posisi di tempat bekerja yang lebih rendah. Ditambah lagi saat ini hanya baru 15% perusahaan yang memiliki kebijakan terkait dengan pelecehan seksual selama WFH, sisanya 85% perusahaan belum memiliki kebijakan tersebut.
Bentuk Pelecehan Seksual Online
Lalu seperti apa pelecehan seksual yang dilakukan secara online? Dari beberapa data yang berhasil dikumpulkan Never Okay Project dan SAFEnet dalam surveynya mengenai jenis-jenis pelecehan seksual secara online antara lain;
- Menerima humor-humor seksual
- Mendapatkan video, foto, audio, email, pesan atau stiker yang berbau seksual
- Body shaming
- Mendapatkan rayuan seksual tanpa izin
- Digosipkan tentang perilaku seksual yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan
- Dijadikan sebagai pemuas hasrat seksual dengan rekan kerja
- Diambil gambar atau video tanpa sepengetahuan korban saat sedang bekerja online
- Dapat ancaman agar mengikuti aktivitas seksual
- Foto dan video diri dengan nuansa seksual yang disebarkan tanpa izin
Bila itu terjadi di dunia kerja, bukankah korban bisa melaporkan kepada pihak yang berkompeten di dalam perusahaan? Misalnya HRD. Tetapi sayangnya temuan Never Okay Project dan SAFEnet menemukan bahwa 94% korban tidak percaya HRD akan berpihak dan melindunginya, sebanyak 38% merasa HRD tidak akan melakukan apapun, selain itu ada juga yang khawatir bila ia melapor akan mempengaruhi karirnya, atau khawatir tidak akan ada yang percaya padanya, hingga ada yang merasa takut justru ia yang akan disalahkan atau victim blaming.
Dengan begitu dapat kita lihat, walau perempuan melakukan WFH, tetapi perempuan tetap berada di area yang tidak aman bagi dirinya. Yang pasti, jika kamu adalah korban, ingatlah bahwa kamu adalah korban dan tidak bersalah. Sebaliknya, pelecehan seksual yang dilakukan pelaku adalah tindak kejahatan, dan pelaku telah melanggar hukum. Atau bila kamu adalah teman korban, ingatlah bahwa teman anda (korban) tidak berhak diperlakukan demikian (menjadi korban kekerasan seksual), dan jangan pernah berpikir korban yang salah dengan berasumsi “pelaku melakukan kekerasan seksual karena terangsang dari pakaian yang dikenakan korban”, atau asumsi-asumsi lain yang justru menyalahkan korban dan membenarkan perbuatan pelaku kekerasan seksual.
Ketika kamu atau kawanmu menjadi korban kekerasan seksual, dan memerlukan bantuan, kamu bisa melaporkan ke Polisi, dan biasanya akan dilayani di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA), atau kamu juga bisa melakukan pengaduan ke Komnas Perempuan melalui nomor 021-3903963, atau P2TP2A maupun LBH Apik yang ada di wilayah kamu. Untuk mengatasi trauma atas peristiwa pelecehan seksual yang kamu alami, kamu bisa akses layanan psikologi yang ada di P2TP2A, atau lembaga lain yang ada di sekitar wilayah kamu. Untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, kamu bisa akses layanan psikologi online via email di bit.ly/KonsultasiOnlinePulih, atau lakukan pendaftaran konsultasi psikologi via chat Whatsapp di nomor 0811-8436-633 atau nomor telepon 021-78842580 pada hari dan jam kerja.[]
by: Nanda Novira
Referensi
http://jurnal.unpad.ac.id/sosioglobal/article/view/17200/pdf
http://yayasanpulih.org/2017/06/mengenali-kekerasan-seksual/
0 Comments
Leave A Comment