Kekerasan Seksual atau sexual abuse, adalah setiap tindakan berupa ucapan atau pun perlakuan yang dilakukan seseorang untuk memanipulasi orang lain agar bisa membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki. Komnas Perempuan telah membuat 15 kategori bentuk kekerasan seksual yang terdiri dari: pemerkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, prostitusi secara paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan menggunakan kontrasepsi dan melakukan sterilisasi, penyiksaan secara seksual yang membahayakan dan mendiskriminasi perempuan dan kontrol seksual.
Kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada orang dewasa, namun juga bisa terjadi pada anak-anak (0 – 18 tahun). Anak menjadi salah satu target kekerasan seksual paling rentan karena ia berada di posisi lebih lemah dan tidak berdaya karena relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan anak.
Pelaku kekerasan seksual kebanyakan dari orang yang dikenal korban, yakni dari lingkungan keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal anak, seperti di rumahnya sendiri, lembaga pendidikan, tempat beribadah, dan juga lingkungan sosial anak. Data yang dikeluarkan tim riset tirto.id, mencatat sebanyak 60% pelaku dari orang terdekat, 30% keluarga korban, dan 10% orang asing.
Baca juga: Pernikahan Usia Anak: Solusi atau Menambah Permasalahan?
Di Amerika Utara, misalnya, tren kekerasan seksual dibagi menjadi lima kategori, yaitu penyalahgunaan intrafamilial (kekerasan seksual di dalam keluarga); melibatkan ayah, figur seorang ayah, paman atau kakak, juga penganiayaan yang dilakukan oleh pengasuh, guru, rohaniwan, dan pelatih.
Banyak pandangan bahwa kekerasan seksual hanya bisa terjadi pada perempuan dan anak perempuan saja, namun ternyata banyak pula kasus yang melibatkan laki-laki maupun anak laki-laki yang menjadi korban. Di Indonesia sendiri, tepatnya di Depok, terjadi kasus pelecehan seksual terhadap anak laki-laki yang dilakukan oleh pembina misdinar di gereja Paroki Santo Herkulanus. Kasus ini terungkap saat ada 2 anak yang menjadi korban dari Syahril Parlindungan Marbun, melapor. Meskipun sempat tidak mengakui dan menyangkal perbuatannya, Syahril Parlindungan Marbun akhirnya mengakui tindak kekerasan seksual yang dilakukannya kepada belasan misdinar lainnya. Hal ini terungkap setelah salah satu korban menjadi saksi dan menuntut Syahril Parlindungan Marbun untuk mengakui perbuatannya. Contoh kasus yang terjadi di atas menunjukkan bahwa bukan hanya anak perempuan yang bisa menjadi korban kekerasan seksual tetapi anak laki-laki pun bisa menjadi korban kekerasan seksual. Hal itu senada dengan kasus yang ditangani Yayasan Kakak, dari total 35 anak korban kekerasan seksual yang didampingi, 71% atau 25 anak adalah perempuan, sedangkan 29% atau 10 orang adalah anak laki-laki. Walaupun anak laki-laki jumlahnya hanya sedikit dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual tidak memandang jenis kelamin.
Anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat mempengaruhi kondisi psikologisnya, seperti:
-
- Rasa Percaya: karena menjadi korban kekerasan seksual dapat merusak pemikiran korban bahwa dunia adalah tempat yang aman dan mengganggu kemampuan korban untuk mempercayai orang lain. Ini mungkin sangat sulit jika korban memiliki hubungan yang dekat dengan pelaku
- Harga Diri: Korban mungkin menyalahkan diri sendiri atas kekerasan itu, meskipun bukan salah korban. Korban mungkin akan sulit untuk merasa baik tentang dirinya atau berharap akan masa depan.
- Mengatasi Stres: Korban mungkin akan memiliki banyak perasaan negatif, yang membuatnya sulit untuk mengatasi stres di kehidupan sehari-hari.
- Impulsivitas: Impulsivitas berarti bertindak tanpa memikirkan konsekuensinya yang bisa menyebabkan melakukan hal yang beresiko.
- Rasa Marah: Korban mungkin akan merasa sulit untuk mengendalikan rasa marahnya.
- Disosiasi: Dengan disosiasi, pikiran korban “memisahkan” dirinya dari peristiwa untuk melindungi diri. Korban mungkin mengalami kesulitan untuk mengingat apa yang terjadi, merasa seperti dunia di sekitar korban tidak nyata atau merasa korban tidak berada di dalam tubuhnya. Ini adalah reaksi umum terhadap rasa sakit dan rasa takut.
- Melukai Diri Sendiri: Korban bisa membahayakan diri sendiri, tetapi bukan berniat untuk bunuh diri. Ini adalah salah satu cara korban untuk mengatasi pemikiran atau perasaan yang sulit.
Baca juga: Tahukah Kamu Seberapa Penting RUU P-KS untuk Disahkan
Masalah lain yang mungkin ada karena kekerasan seksual adalah masalah kesehatan mental memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan (seperti post-traumatic stress disorder), depresi, gangguan makan, gangguan disosiatif dan gangguan kepribadian.
Sensitivitas penanganan pada anak korban juga harus sangat diperhatikan, agar tidak membuat anak menjadi korban untuk kedua kalinya (re-viktimisasi). Penanganan dari pihak-pihak yang berkepentingan perlu memperhatikan kondisi psikologis anak tersebut agar ia juga nyaman dan tidak takut untuk bercerita mengenai kejadian yang dialami secara detail. Penanganan yang sensitif juga berarti berupaya untuk tidak membuat anak korban merasa bahwa dia bersalah dan merasa sedang dikonfrontasi di depan umum. Sebab, ketika anak diminta untuk menceritakan kembali pengalaman kekerasan yang dialaminya dapat membuat anak menjadi takut, terkejut, bingung, malu, maupun merasa hina. Apalagi jika anak masih dihadapkan dengan ancaman, sikap tidak percaya dan merendahkan, maka dapat sangat dimengerti jika anak terlihat tidak berkata jujur, sementara pelaku dengan kekuasaan yang dimiliki dapat membantah dan mengarang cerita yang lebih masuk akal agar dia tidak terbukti sebagai pelaku.
Pemulihan bagi anak korban dalam situasi ini juga menjadi faktor yang krusial untuk meminimalisir dampak-dampak psikologis yang dapat muncul di kemudian hari. Sehingga pemulihan juga menjadi salah satu langkah yang perlu diambil dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Jika kalian adalah korban atau mempunyai kerabat yang menjadi korban kekerasan seksual di wilayah Jakarta dapat menghubungi:
Layanan Medis:
- Klinik Angsamerah (Jakarta Selatan)
- Klinik PKBI (Jakarta Timur)
- Klinik PKBI (Jakarta Pusat)
- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jakarta Pusat)
- Rumah Sakit Kepolisian Pusat Raden Said Sukanto (Jakarta Timur)
Perlindungan Hukum:
- Polres: Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara.
- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta Timur)
- Lembaga Bantuan Hukum: LBH APIK Jakarta-Jakarta Timur, LBH Jakarta-Jakarta Pusat, LBH Mawar Saron-Jakarta Utara.
Baca juga: Kenali Kekerasan dalam Pacaran dan Cara Menghindarinya
Layanan Psikologis:
Yayasan Pulih (Jakarta Selatan)
Layanan Terpadu (Rumah aman, Psikologis, Medis, Hukum):
Pusat Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak (P2TP2A) (Jakarta Timur).
Layanan Pengaduan:
Komnas Perempuan (Jakarta Pusat)[]
by: Nanda Novira
Referensi
https://www.psychologytoday.com/intl/conditions/child-abuse
http://eprints.ums.ac.id/65523/2/BAB%20I.pdf
http://repository.uin-malang.ac.id/880/7/kekerasan-seksual.pdf
https://www.heretohelp.bc.ca/infosheet/childhood-sexual-abuse-a-mental-health-issue
http://yayasanpulih.org/2018/02/gunung-es-kekerasan-seksual/
http://yayasanpulih.org/2017/06/mengenali-kekerasan-seksual/
http://jurnal.unpad.ac.id/prosiding/article/download/13230/6074
https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/viewFile/87/55
https://tirto.id/orang-terdekat-adalah-pelaku-kekerasan-seksual-cjBL
0 Comments
Leave A Comment