COVID-19 tidak dipungkiri lagi telah berdampak hampir di semua sektor kehidupan masyarakat. Mengingat banyaknya sektor-sektor dalam roda perekonomian masyarakat yang harus tertunda, terhenti, mengalami perubahan besar mendadak, hingga dengan terpaksa harus berakhir. Menurut Ketua Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Jakarta Selatan, terdapat peningkatan angka PHK di tanah air yang tercatat sejumlah 5.410 dan pegawai yang terpaksa dirumahkan sejumlah 25.112 orang. Pengurangan jumlah pegawai ini tercatat membuat penurunan 2% dari jumlah karyawan di Jakarta Selatan yang sekarang mencapai 277.713 yang diantaranya merupakan pegawai laki-laki sejumlah 190.152, dan perempuan sejumlah 85.592 orang. Namun tidak menutup kemungkinan jika angka tersebut akan terus bertambah besar dan merugikan lebih banyak lagi orang karena pemutusan ke pekerjaan mereka.

Michèle Tertilt yang merupakan ekonom di Universitas Mannheim di Jerman, bersama dengan rekan-rekannya mengumpulkan bukti terkait bagaimanakah pandemi ini memengaruhi perempuan dan laki-laki di AS. Dikutip dari BBC News, menurut beliau laki-laki lebih banyak terdampak pemutusan hubungan kerja dibanding perempuan mengingat statistik menunjukkan angka partisipasi kerja laki-laki di sektor industri yang terkait erat dengan siklus ekonomi, seperti konstruksi dan manufaktur lebih tinggi ketimbang perempuan. Sebaliknya, perempuan lebih mendominasi perannya dalam industri yang tidak terikat pada siklus seperti tersebut, seperti layanan kesehatan, pendidikan, maupun hiburan dan kuliner, sehingga tidak terlihat angka pemutusan hubungan kerja yang signifikan.

Baca juga: Perubahan Peran Gender Selama Masa Pandemi

Namun rupanya terlihat ada beberapa dampak psikologis yang berbeda baik bagi laki-laki maupun perempuan. Walau terbukti memiliki angka PHK yang lebih tinggi dari kalangan perempuan, laki-laki tidak memiliki kompleksitas dampak dalam segi psikis yang sama seperti perempuan. Mengapa demikian? Karena laki-laki akan merasa kebingungan dan stress yang merupakan dampak dari kejadian dan perubahan dalam kehidupannya. Sehingga kemudian membuat pemasukan atau pendapatan rutinnya tak lagi ia terima dan yang nantinya digunakan untuk membelanjakan kebutuhan pribadi maupun keluarga yang menjadi tanggungannya.

Berbeda dengan laki-laki yang memiliki letak kecemasan yang lebih cenderung hanya pada terhenti atau terhambatnya roda perekonomian, perempuan memiliki beberapa dilemma tambahan lainnya yang kemudian memupuk kecemasan dan mengganggu psikologisnya. Beberapa diantaranya adalah beban pekerjaan domestik bagi perempuan semakin berat mengingat tekanan bahwa pengasuhan dan seluruh pekerjaan domestik harus tetap dilakukan meskipun tak lagi berpenghasilan tetap. Namun tidak terkecuali pula dengan perempuan muda yang single maupun yang sudah menikah namun memiliki keluhan terkait perekonomian, mengingat income bulanan personal maupun keluarga yang memang terbilang sedikit namun harus mengalami ‘kelumpuhan’ perekonomian yang entah kapan akan bertemu dengan penghujung juga dapat menimbulkan kecemasan akan terganggunya pemenuhan kebutuhan personalnya.

Selain itu,  penyediaan layanan kesehatan rutin yang tentunya juga terganggu karena tutupnya layanan medis atau akses khusus karena pandemi seperti akses ke alat kontrasepsi berupa suntik dan obat-obatan yang seharusnya dapat diakses setiap bulannya bagi perempuan menjadi terhambat dan menimbulkan kecemasan baru akan unintended pregnancy atau kehamilan yang tidak direncanakan dan dapat merugikan kalangan perempuan dalam jangka panjang. Mengingat keperluan dan atau kebutuhan-kebutuhan baru untuk kehamilannya akan akan menjadi beban belanja tambahan disaat income tidak lagi dapat dijadikan sandaran kala pandemi yang entah berlangsung sampai kapan. Keresahan berlebih pun tidak akan memberikan dampak yang baik pula bagi kesehatan janin yang tengah ia kandung jika unintended pregnancy harus terjadi.

Baca juga: Mewujudkan Keadilan Gender dalam Penanganan COVID19

Hal tersebut sudah diprediksikan sejak dini oleh United Nations Population Fund (UNFPA) yang menyatakan bahwa kemungkinan yang paling mengkhawatirkan dari dampak pandemi ini adalah akan munculnya jutaan kehamilan yang tak diharapkan. Kemudian prediksi itu terbukti dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menyatakan keprihatinannya terkait data perolehan yang mencatat bawa sejumlah sekitar 7 juta perempuan mengalami unintended pregnancy, dan mereka memprediksikan sejumlah 47 juta perempuan tidak mendapat mengakses kontrasepsi. Dari pemaparan yang disertakan data-data diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa kita perlu melihat dampak pandemi ini menggunakan lensa gender, karena perbedaan dampak yang dialami oleh perempuan dan laki-laki mayoritas disebabkan karena adanya norma gender tradisional yang masih dianut dalam masyarakat. Perempuan, dalam hal ini justru menjadi memiliki kerentanan yang lebih dibanding dengan sebelumnya.

Laki-laki merasa tertekan akibat hilangnya pekerjaan karena masih adanya persepsi norma gender bahwa laki-laki merupakan pencari nafkah utama. Sehingga ketika ia mengalami pemutusan hubungan kerja atau harus bekerja dirumah dan melakukan berbagai peran, ia merasa tidak dapat memenuhi standar atau harapan terhadap dirinya. Begitu juga dengan perempuan yang mengalami peningkatan beban domestik selama WFH, karena adanya persepsi bahwa tugas utama perempuan adalah melakukan pekerjaan domestik. Kondisi seperti ini tentunya akan merugikan kedua gender, terutama perempuan yang lebih berpotensi untuk menjadi korban kekerasan, termasuk  terjadinya unintended pregnancy dalam situasi yang menekan seperti saat ini.

Baca juga: Dampak Pandemi COVID-19 Bagi Perempuan

by: Zevica Rafisna

Referensi

https://www.tribunnews.com/metropolitan/2020/04/17/imbas-corona-ribuan-karyawan-di-jaksel-kena-phk

https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-52266162

https://theconversation.com/dilema-wfh-selama-pandemi-bagi-suami-dan-istri-bagaimana-mengatasinya-138943

https://www.haibunda.com/kehamilan/20200505104256-49-138633/ups-dampak-corona-pbb-prediksi-akan-ada-7-juta-kehamilan-tak-terencana