Bekas luka goresan, memar pada kulit, atau luka yang terbuka tentu dapat terlihat oleh mata telanjang sebagai bukti dari terjadinya kekerasan fisik pada anak. Proses penyembuhannya pun mungkin akan relatif lebih cepat bergantung dengan ukuran luka atau memar dan jumlah atau letak luka-luka tersebut.
Namun jika kita membahas kekerasan emosional atau akrab disebut emotional child abuse, tentunya tidak ada indikasi yang jelas di mata dalam sekali pandang. Perlu penganalisaan seksama dan berhati-hati untuk mendeteksi kekerasan emosional pada anak. Tidak hanya itu, penyembuhan kekerasan emosi pada anak-anak juga tentunya memakan waktu yang jauh lebih lama ketimbang kekerasan fisik karena dampak psikologis bukanlah perkara mudah yang dapat sembuh dalam sekejap karena dampak psikologis tidak berbentuk perawatan ke rumah sakit karena patah tulang atau luka memar, melainkan rasa sakitnya kemungkinan besar dipendam dan tidak terlihat sehingga perlahan merusak kesehatan mental anak yang menjadi korbannya.
Ada banyak yang menjadi pemicu munculnya atau dilakukannya kekerasan emosional pada anak dimana peran terbesarnya adalah orang tua, maupun pengasuh. Misal, orang tua yang menaruh ekspektasi tinggi pada anaknya, dan saat anak tidak mampu menggapai harapan, orang tua memarahinya, dan membentuk sikap yang ‘menyiksa’ secara emosional. Atau parenting buruk dalam pengasuhan baik yang dilakukan orang tua maupun pengasuh dengan ‘menelantarkan’ anak karena tidak dibesarkan dengan apresiasi dan kasih sayang.
Baca juga: Mengenal Jenis-jenis Gangguan Kecemasan
Sikap atau perilaku yang ditampilkan atau ditunjukkan oleh anak yang menjadi korban dari kekerasan emosional dapat menjadi indikasi dari adanya permasalahan di rumah atau tempat ia diasuh. Perilaku yang janggal seperti sifat atau kecenderungan menunjukkan sikap ‘kekanak-kanakan’ yang berlebih, atau justru sebaliknya seperti terlihat jauh lebih dewasa untuk anak seusianya, atau mungkin memiliki perubahan sikap atau mood yang dramatis dalam kesehariannya, atau mungkin anak yang sebelumnya tidak memiliki insting untuk mencari perhatian berlebih kemudian berubah menjadi sangat ketergantungan, manja, atau mencari perhatian dalam bentuk apapun.
Berikut ini adalah beberapa indikasi atau ciri-ciri yang dapat kita pelajari untuk mengidentifikasi apabila anak menjadi korban kekerasan emosional:
- Secara terus menerus mencari perhatian dari orang dewasa lainnya yang bukan merupakan pelaku dari kekerasan emosional anak di rumah atau tempat ia dibesarkan
- Mengalami regresi dalam pertumbuhan, seperti kembali mengompol lagi, atau menjadi lebih kekanak-kanakan dari sebelumnya
- Seringkali mengeluhkan perihal sakit kepala, sakit perut, atau masalah-masalah somatik lainnya tanpa ada penyebab atau riwayat sakit yang jelas
- Kehilangan rasa semangat atau rasa ingin tahu atas aktivitas apapun
- Berusaha menghindari situasi-situasi tertentu, seperti menolak menjalankan jenis aktivitas apapun yang berkaitan dengan sosialisasi
- Terlihat memiliki keinginan atau mencoba menyakiti dirinya sendiri atau orang lain dengan sengaja
- Memiliki self-esteem atau rasa percaya diri rendah
Mengapa penting bagi kita untuk dapat mengenali dengan baik atau merasakan adanya permasalahan yang dialami anak sebagai korban dari kekerasan emosional? Karena anak-anak yang menjadi korban memiliki kecenderungan untuk tidak melaporkan atau menceritakan, bahkan mereka mungkin tidak memandang ini sebagai sebuah keluhan atau ketidakwajaran. Mengapa demikian? Karena anak berasumsi bahwa perlakuan yang mereka dapatkan adalah hal yang wajar terjadi atau memang dinamika lumrah yang harus dilalui sebagai anak dan perlakuan orang tuanya bukanlah hal yang salah, walau realitanya hal tersebut adalah jauh dari kata benar.
Baca juga: Kekerasan Emosional
Disamping itu, akan jauh lebih sulit untuk mendeteksi pelaku kekerasan emosional dari anak-anak, karena pelaku memiliki insting untuk menyembunyikannya. Namun perlu diketahui pula bahwa ada beberapa hal yang mungkin dapat membantu kita lebih baik dalam mendeteksi keberadaan mereka:
- Pelaku dengan ringannya merendahkan dan mempermalukan anak atau korban dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas bahkan di area publik
- Pelaku mengakui ketidaksukaan atau rasa benci dan ketidakpuasannya akan anak-anak atau anak yang diasuhnya
- Pelaku memberikan anak berbagai hukuman yang tidak masuk akal dan dipandang ‘terlalu berlebihan’ seolah tidak memiliki rasa belas kasihan dan terlihat memiliki intensi untuk ‘menyiksa’ ketimbang mendidik melalui hukuman tersebut
- Pelaku terlihat memiliki ekspektasi-ekspektasi yang tinggi dan tidak realistis, memaksa anak untuk dapat menggapainya
- Pelaku tampak acuh terhadap perasaan maupun psikologis anak yang menjadi korban seperti membatasi bentuk kasih sayang sederhana (pelukan, cium, usapan halus, dan lain sebagainya)
Sebagai salah satu bentuk kekerasan pada anak yang paling berbahaya karena pendeteksian yang melibatkan observasi, berbeda dengan kekerasan fisik, tentunya dampak yang ditimbulkan pun tidak terlihat semudah itu dengan mata telanjang layaknya bekas luka yang permanen terukir di kulit. Namun dampak psikologisnya dapat mempengaruhi cara anak menjalani dan memandang kehidupan dan bahkan dirinya sendiri hingga ia beranjak dewasa.
Berikut ini adalah kemungkinan atau potensi-potensi dari dampak kekerasan emosional pada anak-anak:
- Kesulitan menjaga hubungan atau relasi yang sehat
Kekerasan emosional yang diderita oleh anak-anak dapat ikut merusak kemampuan anak tersebut untuk menjalin kedekatan atau attachment dengan orang dewasa. Kemudian kerusakan itu mempengaruhi kehidupannya dalam bersosialisasi dan menjalani relasi atau sebuah hubungan di kemudian hari setelah ia beranjak dewasa seperti keharmonisan keluarganya yang kurang baik, kesulitan menjaga relasi yang baik dengan peer atau kelompoknya seperti rekan kerja atau teman sebaya, mengalami permasalahan dalam menjaga intimacy dalam hubungannya, kesulitan dalam penyelesaian masalah apabila dihadapkan dengan konflik, dan masih banyak yang lainnya.
- Peningkatan resiko rusaknya kesehatan mental
Penelitian membuktikan bahwa seorang individu dengan riwayat kekerasan emosional memiliki kemungkinan besar suicidal atau keinginan untuk bunuh diri. Hal tersebut disebabkan oleh kekerasan emosional yang ia alami di masa kanak-kanak membuatnya depresi yang terbawa hingga usia dewasa karena memilih untuk diam ketimbang melakukan tindak pelaporan atau mencurahkan kisahnya ke orang atau figur yang ia percaya.
- Beresiko tinggi untuk mengulangi siklus
Seperti yang dipaparkan dalam indikasi yang terlihat pada anak yang menjadi korban, anak-anak yang menjadi korbannya biasanya memiliki tendency untuk menyakiti dirinya atau orang lain dengan sengaja. Maka hal teresebut menjurus kepada kemungkinan besar untuk anak tersebut ‘membalas dendam’ dengan melakukan hal yang sama kepada anaknya kelah ketika ia beranjak dewasa seperti bagaimana ia diperlakukan semasa ia kecil dan mencemaskan lebih banyak generasi dimasa kan datang.
Dengan mengenal lebih detail mengenai indikasi adanya kekerasan emosional baik pada anak yang menjadi korban dan pelakunya sendiri, serta memahami betul dampak jangka panjang yang mengkhawatirkan, diharapkan dapat membuka pandangan baru kepada kita bahwa betapa pentingnya aspek psikologis selama masa pertumbuhan anak dan bagaimana ‘rusak’ nya sebuah aspek dalam diri anak dapat menjadi luka permanen yang dapat mempengaruhi kehidupan anak ketika ia menjadi orang dewasa.
Baca juga: Anak Kecanduan Game Bagaimana Mengatasinya?
By: Zevica Rafisna
Referensi
https://www.verywellfamily.com/what-is-emotional-child-abuse-4157502
https://www.helpguide.org/articles/abuse/child-abuse-and-neglect.htm
https://eschooltoday.com/child-abuse/emotional-child-abuse/causes-of-emotional-child-abuse.html
0 Comments
Leave A Comment