Sebagian dari kita mungkin masih awam dengan istilah feminisme, dan bertanya-tanya, apa sih yang diperjuangkan? Bahkan sebagian orang ketika mendengar kata feminisme anggapannya cenderung negatif, judgemental bahwa feminisme adalah kelompok perempuan yang membenci laki-laki, perempuan yang melawan suami, hingga dianggap sebagai pemikiran orang-orang barat, dan anti agama.
Benarkah demikian? Tentu saja bukan. Feminisme adalah sebuah gerakan sadar untuk mengubah keadaan atas diskriminasi, kekerasan, eksploitasi, dan penindasan yang dialami perempuan.
Feminisme sebagai sebuah pemikiran terus mengalami perkembangan dan memiliki banyak aliran pemikiran. Namun begitu tujuannya tetap memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
Gerakan feminisme berkembang pesat di Amerika setelah munculnya publikasi John Stuart Mill (1869) yang berjudul The Subjection of Women. Gerakan ini menandai kelahiran feminisme gelombang pertama. Lalu pada tahun 1960, feminis Perancis mempelopori gelombang kedua yang menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih. Perjuangan gerakan feminisme berkembang lebih luas dengan tuntutan untuk mencapai kesetaraan.
Baca juga: Mengenal Ekofeminisme
Diskriminasi terhadap Perempuan
Walau gerakan feminisme telah ada cukup lama, namun ketidakadilan berbasis gender hingga saat ini masih tetap saja terjadi. Ya, beberapa perempuan saat ini sudah bisa mengakses dunia pendidikan dan meniti karir, tetapi apakah sudah ada pada posisi ideal dan secara statistik sudah setara dengan laki-laki? Berikut beberapa sektor yang masih belum sepenuhnya adil bagi perempuan:
- Stigma. Norma sosial yang terbangun di masyarakat selain mencipta pembagian peran sosial yang tidak adil bagi perempuan, juga memberikan stigma bahwa perempuan makhluk yang lemah, dan emosional, maka dari itu masyarakat kemudian beranggapan bahwa perempuan tidak layak berada di ranah publik apalagi menduduki posisi strategis, baik dalam struktur pemerintahan maupun swasta.
- Pendidikan. Dalam keluarga dan masyarakat yang masih memegang teguh norma gender yang tidak adil bagi perempuan, beranggapan bahwa pendidikan untuk perempuan tidaklah penting, karena menurut mereka perempuan bila sudah menikah akan di rumah saja mengurus keluarga. Lebih dari itu, Survei National Science Foundation pada rentang 2010-2014, sebagaimana dimuat di Tirto.id, terdapat 72.446 perempuan dan 104.425 laki-laki peraih gelar doktor. Dengan demikian maka peran perempuan yang dapat mengajar di Perguruan Tinggi masih terbatas. Hal itu terjadi menurut Kemendikbud karena adanya persepsi bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik membuat mereka kurang termotivasi untuk mengambil gelar S2 atau S3 sebagai syarat pengajar perguruan tinggi.
- Ekonomi. Dalam norma sosial yang tidak adil gender, peran perempuan yang sudah menikah di dalam keluarga sebagai ibu rumah tangga, dan tidak wajib mencari nafkah. Pada akhirnya norma sosial tersebut membuat perempuan secara ekonomi bergantung pada laki-laki (suami). Imbas dari pembakuan peran gender tersebut berlaku di dunia kerja, dimana upah perempuan lebih rendah dibanding upah laki-laki. Pada tahun 2015, rata-rata upah pekerja perempuan sebesar 1,68 juta rupiah, sedangkan pekerja laki-laki sebesar 1,94 juta rupiah. Walau kesenjangan upah antar gender terus menurun, rata-rata pekerja perempuan masih mendapatkan upah 13,83 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Hal itu terjadi selain perempuan dipandang sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki, juga karena menganggap perempuan bukan pencari nafkah utama, ia hanya membantu saja.
- Posisi strategis. Menurut Badan Kepegawaian Negeri (BKN), persentase PNS perempuan di Indonesia masih belum sebanding, yakni 39,70% perempuan dan 60,3% laki-laki. Selain itu jumlah perempuan yang menduduki posisi eselon I dan II masih minim dibanding laki-laki. Begitu juga posisi strategis lainnya baik di pemerintahan, badan dunia, maupun swasta, masih didominasi oleh laki-laki. Hal demikian terjadi karena masih mengakarnya nilai-nilai sosial yang tidak adil gender bagi perempuan.
Norma sosial yang membedakan (membakukan) peran gender antara laki-laki dan perempuan, mengakibatkan diskriminasi terhadap seseorang hanya karena ia perempuan. Itulah mengapa secara sadar gerakan feminisme menggugat, dan menyuarakan agar adanya keadilan bagi perempuan.
Baca juga: Fenomena Revenge dan Dampaknya bagi Korban
Lalu, apa saja aliran feminis dan apa yang menjadi pokok pikirannya? Berikut ini informasi singkat beberapa aliran feminis:
- Feminis Liberal menekankan pada kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal rasionalitas.
- Feminis Radikal yaitu ketidakadilan yang disebabkan pada sistem patriarki dan pemaknaan akan seksualitas dan tubuh perempuan (seperti hak-hak reproduksi, seksualitas, dll).
- Feminis Marxis atau Sosialis penekanan pada sistem kapitalis atau perempuan berada di bawah laki-laki. Misalnya dalam pembagian kerja, laki-laki bekerja pada sektor yang bersifat produktif serta memiliki pendapatan yang lebih besar, sedangkan perempuan bekerja pada sektor domestik yang tidak produktif dengan pendapatan yang sedikit. Sedangkan sosialis, penekanan peran kuat kapitalisme dan patriarki yang merugikan perempuan.
- Feminis Eksistensialis menurut Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, seorang perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan”, dalam esensi gender, melainkan sebagai perempuan secara biologis.
- Feminis Postmodern yaitu menolak adanya modernisasi. Perempuan ditekan oleh struktur bahasa (misal: Salesman, Businessman, Policeman, dll) yang dimana bahasa tersebut bisa saja berubah menjadi salesperson, business person, police officer, dll.
- Feminis Multikultural membahas mengenai permasalahan ras, kebudayaan, etnis, dan gender yang dimana hal tersebut membatasi ruang gerak perempuan.
- Ekofeminisme melihat keterkaitan antar hubungan alam dan isu perempuan. Contoh kasus yang ada di Indonesia salah satunya adalah para perempuan yang menolak pembukaan pabrik semen di daerah Jawa Tengah dengan cara membuat tenda di sekitar daerah yang akan dibuat pabrik serta “mengubur” kakinya sendiri ke dalam semen. Hal tersebut sungguh sangat disayangkan, namun hal tersebut terpaksa mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain agar suara mereka didengarkan.[]
Baca juga: Speakup bukan Hal Mudah bagi Korban Kekerasan Seksual
By: Safira Prabandani
Ed: WS, JLP
Referensi:
Pengantar Feminisme oleh Kristi Poerwandari, dalam diskusi internal Yayasan Pulih, 2020.
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/53185-statistik-gender-tematik-2016-ketimpangan-ekonomi.pdf
https://greatmind.id/article/mendalami-jiwa-feminisme
http://digilib.unila.ac.id/14185/19/II.pdf
http://repository.unair.ac.id/84211/5/JURNAL_Fis.P.34%2019%20Cah%20p.pdf
https://tirto.id/kerikil-tajam-dunia-pendidikan-untuk-perempuan-cuHk
0 Comments
Leave A Comment