Sebagian kita mungkin familiar dengan istilah first impression. Ya, first impression adalah bagaimana pandangan kita terhadap orang yang baru kita kenal atau jumpai. Seperti ketika kita memasuki masa orientasi kampus, sebagai mahasiswa baru di kampus, kemudian kita melihat atau bertemu seorang mahasiswa senior yang merupakan panitia masa orientasi mahasiswa yang tengah mengarahkan dan melakukan campus tour dengan sekelompok mahasiswa-mahasiswa baru. Sikap friendly yang ditunjukkan oleh para panitia yang merupakan sekelompok senior itu menjadi first impression tersendiri dan berhasil membangun kesan bahwa para senior yang bertugas tersebut adalah sekelompok orang yang sangat ramah dan suka membantu sesama. Fenomena tersebutlah yang dapat kita sebut sebagai halo effect.
Dalam kata lain, halo effect terjadi jika kita melakukan judgment terhadap orang baru kita jumpai berdasarkan apa yang kita lihat pertama kali dari orang tersebut. Namun rupanya terdapat istilah psikologi yang menggambarkan fenomena sosial yang disadari maupun tidak selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari tersebut, yaitu halo effect. Halo effect pertama kali ditemukan oleh salah satu tokoh penting dalam ilmu psikologi yaitu Edward L. Thorndike di tahun 1920-an. Dan dapat dikatakan bahwa halo effect termasuk penemuan yang ‘tidak sengaja’ ketika ia tengah melakukan penelitian yang di mana melibatkan para petugas kemiliteran sebagai subjeknya. Ia meminta mereka melakukan ranking terhadap bawahan-bawahannya.
Namun uniknya, bahkan sebelum para petugas berbicara atau berinteraksi dengan bawahan-bawahannya, Thorndike sudah mendapatkan hasil dari ‘ranking’ yang dilakukan oleh para petugas-petugas tersebut. Dan hasil yang didapat menunjukkan bahwa mereka memberikan ‘ranking’ berdasarkan beberapa kategori seperti karakter kepemimpinan yang baik maupun kecerdasan. Hal ini dipandang unik bagi Thorndike di saat itu mengingat fakta dimana hasil yang diperoleh dari subjek-subjeknya atas penilaian mereka terhadap bawahan-bawahannya sesungguhnya berasal dari pengamatan-pengamatan yang bahkan tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan ‘kualitas’ kepemimpinan dan kecerdasan mereka. Atau dalam kata lain, hasil yang didapatkan tidak memiliki pendukung apapun selain tampak luar bawahan-bawahan para subjek. Seperti ‘kegagahan’ fisik, ketajaman tatapan, atau bahkan mungkin ketegapan postur tubuh saat berdiri, dan lain sebagainya.
Terlepas dari sejarahnya, halo effect dapat didefinisikan sebagai salah satu jenis dari cognitive bias atau bias kognitif yang dimana impression atau kesan pertama kita dapat mempengaruhi bagaimana kita merasakan dan berfikir (kognitif) atau perbandingan terhadap orang yang bersangkutan secara keseluruhan. Halo effect memang sangat erat keterkaitannya dengan asumsi atau bias sosial kita dan berasosiasi dengan apapun yang terlihat dengan mata, tampak luar orang yang bersangkutan, apa yang ia lakukan saat kita melihat mereka, atau appearance nya, yang kemudian mempengaruhi pandangan kita secara keseluruhan terhadap orang itu. Karena tentu saja tidak selalu benar dan akurat, karena asumsi-asumsi yang muncul dalam diri kita terhadap orang yang kita lihat tentunya hanyalah berdasarkan apa yang kita lihat dan tanpa adanya interaksi sosial yang lebih untuk mendapatkan asumsi-asumsi tersebut. Maka dari itu, halo effect dapat memberikan dampak positif maupun negatif, tergantung dengan bagaimana asumsi ‘instan’ atau ‘spontan’ kita terhadap siapapun.
Namun mirisnya, halo effect ini sungguh dapat menjadi ‘bibit’ dari mindset atau pola pikir yang salah dan tidak open minded. Terlebih jika kita melihat contoh dari halo effect menggunakan lensa gender, seperti misal ada seseorang yang tengah jogging di komplek perumahannya dan tak sengaja melihat tetangganya yang merupakan seorang laki-laki tengah menjemur pakaian. Kemudian muncul halo effect berupa asumsi dengan mudah ‘memberi label’ orang yang belum kita kenal sama sekali dengan asumsi: “Wah pasti dia bukan suami pencari nafkah, pagi-pagi begini bukannya kerja kok malah jemur baju”. Atau mungkin ketika tidak sengaja mendapati perempuan menaiki transportasi umum mendekati tengah malam, kemudian berpikir bawa perempuan tersebut adalah ‘perempuan tidak benar’ atau semacamnya. Tidak hanya salah untuk membiarkan diri membuat asumsi sembarangan terhadap orang lain, namun salah pula untuk bahkan terpikirkan untuk bersikap seolah pemikiran kita adalah akurat atau sesuai dengan realita orang yang bersangkutan padahal pada realitanya kita tidak mengetahui apapun terkait kehidupan orang lain.
Maka dari itu, perlu diketahui bahwa memiliki batas-batas diri dan ada beberapa cara antisipatif untuk meminimalisir halo effect negatif. Cara pertama yang paling mudah adalah ‘membalikkan’ asumsi itu kepada diri kita. Seperti jika kita mulai mengasumsikan hal negatif saat kita melihat seseorang, maka ingat “Jika orang itu adalah saya, saya pasti akan kecewa/tidak suka jika ada orang lain yang berasumsi demikian terhadap saya. Karena hal itu tidaklah benar”. Tentunya memberi label atau membuat-buat asumsi yang tidak berdasarkan bukti apapun tanpa adanya sosialisasi atau interaksi dengan orang yang bersangkutan adalah tindak yang sangat salah. Anggaplah orang tersebut adalah kita, dan ingat bahwa kita tidak akan pernah rela apabila ada orang lain yang menilai atau menganggap rendah diri kita bahkan hanya dengan observasi melalui indera penglihatan saja.
Kemudian, jika memang dirasa sulit dan membuat asumsi negatif terhadap orang lain tidaklah bisa dihindari karena bias kognitif tersebut terus mengelabui pikiran kita, cobalah untuk membuat kemungkinan-kemungkinan lain yang bernilai positif dari apa yang kita lihat guna menghindari bias kognitif negatif yang tidak seharusnya dilakukan. Seperti ketika kita yang tengah diperjalanan pulang ke rumah tak sengaja mendapati seorang laki-laki berjalan keluar dari sebuah gedung, sempoyongan, dan ada sebotol minuman keras di tangannya. Kemudian muncul halo effect negatif yaitu kita mengasumsikan dia adalah seorang pemabuk yang mungkin tidak memprioritaskan keluarga atau orang yang menyayanginya menantinya di rumah dengan penuh rasa khawatir. Cobalah untuk mencari sisi positif dari adegan tersebut seperti misal berfikir jika ia mungkin hanya sekedar orang biasa,bukanlah pemabuk yang sehabis bercengkrama dengan kerabat dekatnya yang sudah lama tidak ia temui dan mungkin seseorang nanti akan segera menjemputnya untuk pulang dengan selamat.
Perlu diketahui bahwa bias kognitif adalah wajar terjadinya karena manusia memang terlahir memiliki tendencies atau kecenderungan-kecenderungan akan keyakinan moral atau sosialnya masing-masing. Dan muncul asumsi negatif jika dihadapkan dengan sesuatu yang ‘melanggar’ atau ‘berbeda’ dari keyakinan-keyakinan kita adalah hal wajar. Maka dari itu, belajar menjadi pribadi yang lebih open-minded dengan menghargai sesama karena setiap individu adalah unik dan berbeda, mengetahui bahwa setiap orang juga memiliki nilai-nilai pribadi dan asumsi pribadinya adalah tindak yang paling bijaksana untuk dapat hidup bermasyarakat.
By: Zevica Rafisna
Ed: FZ, WS, JLP
Referensi:
https://www.healthline.com/health/halo-effect#history
https://blog.cognifit.com/halo-effect-10-tricks-successfully-manage/
0 Comments
Leave A Comment