Setiap individu pasti memiliki tujuan dan kesuksesan yang ingin dicapai, hal ini bisa dalam bentuk prestasi akademik, karir, mencapai kebahagiaan dalam hidup, maupun hal lainnya. Namun, pernahkah kalian merasa kalau capaian dan prestasi yang telah didapat malah membuat kalian cemas dan merasa tidak layak mendapatkan capaian yang sudah kalian dapat? Bila kalian pernah merasa demikian, bisa jadi kalian mengalami apa yang disebut sebagai imposter syndrome. Fenomena ini mungkin tidak diketahui banyak orang, namun, bukan berarti imposter syndrome merupakan sesuatu yang dapat didiamkan saja bila fenomena tersebut muncul pada diri kita. 

Fenomena psikologis ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1978 oleh para ahli psikologi (Leonard, 2020), dan, meskipun fenomena ini tidak masuk dalam Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) (Dewanty, 2021), berbagai penelitian menunjukan kalau sindrom imposter sering ditemui dalam masyarakat. Menurut hasil tinjauan mengenai sindrom ini yang dilakukan oleh Bravata et. al. di tahun 2019, dan berdasarkan dari beberapa hasil penelitian, 9%-82% individu mengalami sindrom ini. 

Baca juga: Negatif Bias Penghambat Self Love

Imposter syndrome umum terjadi pada laki-laki dan perempuan dan dalam berbagai kelompok usia, mulai dari remaja hingga dewasa akhir (Bravata et. al., 2019). Individu-individu yang berasal dari sisi minoritas (dari ras, suku, etnis, agama, jenis kelamin, tingkat pendidikan, atau latar belakang ekonomi), juga memiliki kemungkinan besar pernah mengalami sindrom ini (Dewanty, 2021).

Menurut Bravata et al. (2020; dalam Reyes, 2020), mereka yang mengalami sindrom ini mungkin berpikir bahwa hal ini merupakan hal yang tidak umum, sehingga seseorang yang merasakan sindrom ini jarang yang mencari bantuan atau bertukar cerita dengan orang lain. Alhasil, sindrom ini mungkin hanya akan berkembang jika tidak dapat ditangani dengan baik. Hampton & Feller (2019; dalam Reyes, 2020), menyatakan kalau bila tidak dibantu menangani sindrom ini, dampak negatif dari imposter syndrome dapat terus berlanjut, dari sejak ia menempuh pendidikan hingga memasuki dunia kerja dan usia dewasa secara umum. Seseorang dengan sindrom ini akan mengurangi aspirasi profesional dan memasang lebih banyak limitasi dalam tujuan karirnya.

Dengan begitu, apakah gejala-gejala yang dapat dirasakan oleh individu yang mengalami sindrom ini? Secara umum, individu yang merasakan sindrom ini memiliki perasaan lebih rentan terhadap kegagalan, dapat pula merasa kehilangan produktivitas, dan sering dikarakteristikan dengan keraguan diri dan penundaan terhadap hal yang harus dilakukan akibat takut hasil akhir tidak sesuai dengan yang diharapkan (Chrousos, George P., et al., 2020; dalam Reyes, 2020). Perasaan imposter juga dapat membuat individu untuk memiliki standar yang tidak realistis untuk diri sendiri yang bisa saja menambah munculnya perasaan negatif tersebut (Parkman, 2019; dalam Reyes, 2020).

Baca juga: Membangun Self Compassion dalam Diri

Morin (2021), telah merangkum gejala dari sindrom imposter ini, yaitu sebagai berikut:

    • Gampang cemas
    • Tidak mampu menilai kompetensi dan keterampilan diri sendiri dengan realistis
    • Merasa keberhasilan adalah karena faktor eksternal
    • Memberikan kritik langsung kepada kinerja kerja diri sendiri
    • Takut tidak dapat memenuhi ekspektasi yang ada dalam diri
    • Seorang overachiever
    • Menyabotase kesuksesan yang dicapai diri sendiri
    • Menetapkan tujuan yang menantang dan akan merasa kecewa ketika tidak dapat mencapai tujuan yang ada

Hingga saat ini, belum ada informasi yang banyak mengenai pengobatan individu dengan imposter syndrome (Reyes, 2020). Namun, menurut Morrin (2021), ada beberapa strategi yang dapat dilakukan individu untuk mengurangi perasaan asing tersebut yaitu dengan berbagai cara, seperti:

  • Mencurahkan apa yang dirasakan, beritahu orang lain apa yang sedang dirasakan jika sedang jenuh atau merasa kurang puas dengan diri sendiri.
  • Fokus menolong orang lain, dengan membantu orang lain yang berada dalam situasi yang sama, kepercayaan diri akan kemampuan diri sendiri bisa pelan-pelan tumbuh.
  • Menilai kemampuan diri sendiri, dengan mengingat pencapaian dan apa saja yang sejauh ini sudah berhasil dilakukan.
  • Mengambil langkah pelan-pelan, berusahalah untuk tidak fokus dalam melakukan sesuatu dengan sempurna, namun lakukan dengan baik dan beri diri sendiri reward ketika berhasil melakukan sesuatu dengan baik.
  • Pertanyakan kembali pemikiran negatif yang terpikirkan, apakah benar pemikiran yang dimiliki dengan kenyataan yang ada?
  • Berhenti membandingkan diri dengan individu lain.
  • Jangan berlebihan menggunakan sosial media, hal ini dikarenakan berlebih-lebihan menggunakan sosial media bisa menyebabkan individu malah membandingkan diri sendiri dengan individu-individu lain dalam sosial media.
  • Berhenti melawan perasaan yang ada, melainkan, coba secara perlahan menerima perasaan yang dirasakan sehingga tidak merasa ditahan oleh perasaan tersebut.
  • Jangan biarkan perasaan menjadi penghambat.

Baca juga: Mengapa Penting Mencintai Diri Sendiri?

Tidak ada yang sempurna dalam melakukan sesuatu, menyadari kalau kekurangan yang dimiliki bukanlah hambatan melainkan hal yang wajar dimiliki setiap individu dapat menjadi kunci agar perasaan imposter yang dimiliki individu bisa mereda secara perlahan.[]

 

By: Fathia Rachma Aurelia Zahra Natadisastra

 

Ed: WS

Referensi

https://digitalcommons.csumb.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1951&context=caps_thes_all

https://www.mentalhealthjournal.org/articles/commentary-prevalence-predictors-and-treatment-of-imposter-syndrome-a-systematic-review.html

https://www.verywellmind.com/imposter-syndrome-and-social-anxiety-disorder-4156469#coping

https://www.medicalnewstoday.com/articles/321730#symptoms

https://hellosehat.com/mental/mental-lainnya/imposter-syndrome-sindrom-penipu/#:~:text=Apa%20itu%20imposter%20syndrome%3F%20Imposter%20syndrome%20adalah%20kondisi,yang%20tidak%20berhak%20mengakui%20segala%20prestasi%20dan%20keberhasilannya