Apakah setiap hari Anda gemar jajan menggunakan ojek online? Apakah setiap hari rumah Anda didatangi oleh kurir? Seberapa sering sih Anda merasakan hal tersebut di era pandemi ini? Jika hampir setiap hari dan menjadi ketergantungan, mungkin Anda mengalami yang namanya Compulsive Buying Disorder (CBD)! Lalu, apa sih Compulsive Buying Disorder

Selama masa pandemi ini kita selalu diingatkan dengan himbauan untuk tetap dirumah saja jika tidak memiliki kepentingan untuk keluar rumah. Himbauan untuk tetap dirumah saja merupakan salah satu cara untuk memutus rantai penyebaran Covid-19, khususnya di Indonesia. Himbauan ini dapat berdampak terhadap pemenuhan kebutuhan manusia sehari-hari, dimana pada kehidupan manusia terdapat tiga kebutuhan yang saling berkaitan satu sama lain, yakni, kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. 

Di tengah pandemi ini, hampir segala pemenuhan kebutuhan manusia bergantung dengan aplikasi-aplikasi belanja online. Namun, tanpa disadari walaupun keadaan ekonomi khususnya di Indonesia sedang tidak stabil, banyak masyarakat Indonesia yang ternyata memiliki tingkat belanja online yang tidak normal. Dilansir dari cnnindonesia.com (2020), Ahmad M. Ramli selaku Dirjen penyelenggaraan Pos dan Infomatika (PPI) Kemenkominfo menyampaikan bahwa aktivitas belanja online masyarakat Indonesia meningkat di era pandemi, dan kenaikannya pun mencapai 400%. Tak jarang barang-barang yang dibeli pun merupakan pemenuhan kebutuhan sekunder ataupun tersier. 

Baca juga: Bagaimana Agar Tidak Panic Buying

Jika kebiasaan ini terus menerus dilakukan, maka akan memunculkan suatu gangguan yang disebut Compulsive Buying Disorders (CBD). Edwards (dalam Ekasari, 2019) mendefinisikan compulsive buying sebagai perilaku berbelanja yang abnormal atau berlebihan yang dilakukan secara tidak terkontrol, berulang, dan selalu memiliki dorongan yang kuat untuk berbelanja sebagai salah satu cara untuk menghilangkan stress, cemas, dan gangguan lainnya. Pada kenyataannya gangguan ini bisa terjadi seiring dengan terjadinya gangguan lain. Black (2007) menjelaskan bahwa gangguan lain yang bisa terjadi meliputi mood disorders, anxiety disorders, substance use disorders, eating disorders, dan disorders of impuls control. Selain itu, Schlosser et al menyebutkan gangguan lain yang bisa terjadi bersamaan dengan Compulsive Buying Disorders (CBD), diantaranya obsessive-compulsive personality disorders, avoidant personality disorders, dan borderline personality disorders

Heshmat (2018) menjelaskan 5 pola yang terjadi pada individu dengan CBD, yaitu: 

  • Impulse purchase individu akan selalu melakukan pembelian barang secara impulsif. Biasanya individu yang melakukan hal ini bisa menjadi seorang penimbun barang, karena Ia akan terus berbelanja tanpa disadari masih banyak barang baru yang belum Ia sentuh sama sekali.
  • Buyers high individu akan merasakan kegembiraan yang berlebih ketika Ia mempertimbangkan dan membeli barang, bukan pada saat Ia memiliki barang tersebut.
  • Shopping to dampen unpleasant emotions pembelian barang secara impulsif dilakukan untuk mengurangi perasaan yang tidak menyenangkan seperti kesepian. 
  • Guilt and remorse individu akan merasa bersalah dan menyesal, namun akan timbul rasa untuk melakukan “perbaikan” yang tidak lain adalah membeli sesuatu barang yang lain. 
  • The pain of paying individu dengan kebiasaan seperti ini akan bergantung pada kartu kredit dibandingkan dengan uang tunai, karena mereka menganggap membayar dengan uang tunai adalah suatu hal yang menyakitkan dibandingkan dengan membayar menggunakan kartu kredit (Ariely & Kreisler dalam Heshmat, 2018). 

Baca juga: Tips Bagi Orangtua yang Bekerja dari Rumah dan Memiliki Anak

Retno,  dalam Agung, 2014,  memaparkan beberapa konsekuensi dari pembelian kompulsif, baik konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang, antara lain:

  • Konsekuensi jangka pendek bersifat positif, meliputi mengurangi stress, meningkatkan konsep diri dan meningkatkan hubungan interpersonal. 
  • Konsekuensi jangka panjang bersifat negatif dan dapat berimbas kepada keadaan ekonomi dan psikologis. Konsekuensi ini meliputi meningkatkan tunggakan kartu kredit, memiliki hutang yang berlebihan, berkurangnya tabungan, terjerat kasus hukum, muncul perasaan rendah diri, meningkatnya rasa bersalah, depresi, cemas, frustasi dan munculnya konflik interpersonal. 

Selain konsekuensi di atas, terdapat beberapa konsekuensi lainnya yaitu:

  • Menjadi pemicu ketegangan dan pertikaian di dalam keluarga, apabila kebiasaan tersebut terus dilakukan.
  • Memberi contoh tidak baik (konsumtif) pada anak.
  • Ketergantungan untuk selalu melakukan pembelian kompulsif setiap merasa stres dan gangguan lainnya. 

Walaupun kesehatan mental kita sedang diuji di tengah pandemi seperti ini, kita harus tetap bisa mengontrol diri, dan mengelola apapun yang kita butuhkan secara baik. Hal ini bertujuan agar kita tidak terjebak dalam keadaan kesehatan mental yang buruk yang tanpa disadari kita ciptakan sendiri.  Beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk tetap memenuhi kebutuhan untuk kesenangan kita adalah membuat daftar kebutuhan, dimulai dari kebutuhan primer hingga kebutuhan tersier, serta kita perlu untuk menjadwalkan pembelian kebutuhan agar tidak setiap hari bahkan setiap jam kita melakukan belanja online. []

Baca juga: Manfaat Berbagi Peran di dalam Rumah

By: Larasati Widya Putri

Ed: WS

 

Sumber: 

https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/23/080000469/kebutuhan-manusia–primer-sekunder-tersier?page=all 

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200707172450-92-521925/belanja-online-naik-400-persen-saat-musim-corona 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1805733/#:~:text=Compulsive%20buying%20disorder%20(CBD)%20is,in%20the%20US%20general%20population 

http://eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4565/ 

https://www.psychologytoday.com/us/blog/science-choice/201806/5-patterns-compulsive-buying 

https://www.ugm.ac.id/id/berita/9124-keluarga-dasar-pembentukan-perilaku-pembelian-kompulsif