Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.
Binar, adalah seorang perempuan pekerja profesional. Ia berprinsip harus menyelesaikan pekerjaannya di kantor dan pantang membawa pekerjaan ke rumah supaya worklife balance tetap terjaga. Selama ini, ia memang selalu menepati prinsipnya.
Tapi pada suatu hari, adiknya yang masih duduk di bangku SMA, menegurnya, “Ah, sekarang nggak asik main sama kakak. Kalau abis pulang kerja, kakak marah-marah melulu. Pas libur, Kakak malah asyik tidur.”
Kata-kata adiknya ini membuat Binar terhenyak. Ia merasa bersalah karena telah abai pada adik dan keluarganya.
Memori Binar lantas merunut asal-muasal penyebab perilakunya yang emosional belakangan ini. Ia memang sedang bersitegang dengan salah satu rekan kerjanya. Selain itu, ia juga tengah sibuk mempersiapkan rapat direksi tahunan. Belum lagi atasannya yang kerap menelepon di luar jam kerja untuk menanyakan beberapa detail laporan. Banyaknya perhatian yang Binar berikan untuk pekerjaan, tak terasa ia menjadi lebih sensitif dan emosional, lantaran kelelahan baik fisik maupun mental.
Baca juga: Peduli Kesehatan di Tengah Situasi yang Tidak Pasti
Sementara itu, Sakti adalah rekan sejawat Binar sedang menempuh pendidikan magister demi mendapat promosi jabatan. Wajar saja, ia adalah satu-satunya anak laki-laki dari 4 bersaudara dan merasa perlu mencapai posisi tinggi untuk menafkahi kebutuhan keluarganya. Terutama karena ayahnya sudah sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja sebagaimana biasa.
Tak hanya bertanggung jawab menghidupi kedua orang tuanya, ia juga tengah mencicil rumah untuk istri dan anaknya yang baru saja lahir. Kerja sampingan pun ia lakukan demi mendapatkan uang tambahan untuk biaya kuliah. Maka aktivitas kuliah, mengejar promosi, bekerja paruh waktu, dan menjadi bapak muda, dilakukannya dalam satu waktu secara bersamaan. Tak jarang adik dan kakak perempuannya juga meminjam uang untuk kebutuhan rumah tangganya masing-masing.
Tuntutan keluarga yang demikian besar lama-lama membuat Sakti kian abai pada kesehatan dirinya sendiri. Aktivitas yang demikian banyak tak lagi diimbangi dengan istirahat yang cukup karena ia juga menemani bayinya yang terbangun di tengah malam. Akibatnya, di kantor Sakti menjadi sosok yang mudah tersulut amarah, pelupa, dan kesulitan memenuhi deadline. Selain itu, promosi jabatan yang semula diincar pun terasa kian jauh karena penilaian kerjanya terus memburuk.
Sesungguhnya Sakti ingin sekali melepas pekerjaan sampingannya supaya ia dapat memiliki kehidupan yang lebih seimbang. Tetapi ia sungguh membutuhkan uang tambahan, karena sebagai sebagai laki-laki, ia sangat diharapkan agar dapat berperan dalam memenuhi hampir sebagian besar kebutuhan keluarga.
Baca juga: Memahami Beban Ganda Pada Perempuan Bekerja
Lingkup Pekerjaan dan Keluarga
Salah satu konflik yang kerap dialami oleh pekerja adalah tercampurnya urusan pekerjaan dan keluarga. Syukurlah bila kita memiliki kesempatan untuk tidak membawa pekerjaan ke rumah seperti Binar. Dengan demikian, kita dapat memberikan batas antara peran sebagai seorang profesional dan sebagai seorang anggota keluarga di rumah.
Tetapi bagaimana jika jenis pekerjaan kita cenderung sulit untuk ditarik garis batasnya? Misalnya, jika kita adalah seorang tenaga kesehatan yang harus siap dipanggil 24 jam, pekerja media yang tetap bekerja saat akhir pekan, atau seharian mengelola warung makan di rumah.
Terlebih, semasa pandemi, ada pula pekerja yang harus bekerja dari rumah (WFH). Mau tak mau, urusan rumah dan kantor pun tercampur-aduk. Waktu kerja dan waktu untuk keluarga pun menjadi bias.
Bagi kita yang sudah menikah, ada saatnya kita mesti asistensi sekolah daring anak di tengah tumpukan pekerjaan. Saat waktunya tidur, kita malah masih sibuk membuat laporan kerja. Terlebih lagi, bukannya tak mungkin kita bekerja dan beristirahat di ruangan yang sama. Akibatnya, kita jadi sulit membedakan antara urusan kantor dan keluarga.
Kondisi ini pun rentan membuat waktu berkualitas bersama keluarga terganggu. Demikian pula kita jadi tak punya waktu untuk diri kita sendiri. Padahal untuk sanggup mengembangkan diri, diperlukan kondisi mental yang memadai. Misalnya dengan istirahat yang cukup, mengambil jarak untuk mengelola emosi, waktu luang untuk mencoba hal-hal baru dengan lebih rileks, dan lain sebagainya.
Baca juga: Manfaat Perempuan dan Laki-laki Saling Bahu-membahu Hadapi Pandemi
Lalu, bagaimana cara kita menyikapinya? Yuk kita simak kiat yang bisa kamu coba:
- Kenali dan pahami emosimu
Mungkin dalam hatimu ada pertanyaan, “Duh aku jadi emosian nih, persis seperti Binar. Aku kenapa ya?”
Sahabat, setiap orang pasti pernah merasa marah, bahagia, sedih, kecewa, takut, kaget, dan lain sebagainya. Emosi yang kita rasakan ini, pada dasarnya adalah hal yang wajar, jika sesuai dengan konteks kejadian yang kita alami. Emosi dapat pula menjadi sinyal yang diperlukan oleh tubuh kita. Sebagai contoh: ketakutan akan membuat kita lebih waspada, sedangkan amarah dapat menjadi sinyal bahwa sudah saatnya kita perlu menenangkan diri.
Apalagi, saat kita sedang lelah, wajar saja bila kita jadi cenderung mudah marah dan stres. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari emosi tersebut dan menerima sebagai dinamika yang sedang kita alami. Cobalah bertanya ke diri sendiri; mengapa aku merasakan hal tersebut? Apa penyebabnya?
- Apa tandanya jika stres yang kualami perlu penanganan lebih lanjut?
Kita tidak bisa menerka kapan emosi datang dan pergi. Kadang, emosi bisa berlangsung hanya sesaat. Tapi di lain waktu, bisa tahan berhari-hari.Tetapi bila berlangsung intens hingga mempengaruhi kualitas hidup, mungkin sudah saatnya emosi ini perlu ditangani lebih serius. Contohnya, bila kita jadi sulit bekerja, susah fokus, dan tidak produktif. Atau, orang-orang di sekitar kita menjadi takut berkomunikasi karena kita menjadi pemarah.
Termasuk bila kita kesulitan meregulasi emosi sesuai peran kita sebagai pekerja dan anggota keluarga. Khawatir dengan kesehatan orang tua bisa membuat kita sering bengong dan lupa deadline Sebaliknya, jika sedang marah ke rekan kerja, tapi malah dilampiaskan ke istri/anak di rumah atau orang lain yang kita anggap “lebih lemah”, lama-lama hubungan dengan orang lain pun menjadi tak harmonis dan masalah pun bertambah besar.
- Temukan cara mengelola emosi dan stres
Tak hanya pemasukan bulanan, setiap emosi yang kita rasakan juga bisa dikelola lho. Ada begitu banyak cara mengelola emosi dan stres sehingga setiap orang punya caranya sendiri.Kita bisa menangani emosi dengan melakukan hal yang sederhana dan kita suka. Menulis, mengevaluasi diri, ngobrol dengan orang yang kita percaya, berolahraga, merenung, istirahat, dan melakukan hobi apapun yang digemari. Bila perlu waktu untuk menarik diri, lakukanlah. Berilah waktu hingga emosi dan stresmu mereda hingga siap menghadapi tantangan kehidupanmu.
Jika tak kunjung menemukan cara yang efektif, tak perlu ragu minta bantuan kepada profesional ya!
- Aku kesulitan memisahkan urusan rumah dan kantor. Aku harus bagaimana?
Tantangan yang satu ini memang tak mudah untuk dihadapi, terutama ketika kita bekerja dari rumah. Meski demikian, yuk bersama-sama kita coba kiat berikut ini.Jika memungkinkan, tetapkan durasi waktu bekerja dan semaksimal mungkin tepati waktu tersebut. Hindari aktivitas lain yang membuat pekerjaan kita tertunda (contohnya: nonton Youtube atau berbincang terlalu lama dengan kawan kantor).
Jika bekerja dari rumah, cobalah sampaikan kebutuhan pekerjaan kita kepada anggota keluarga. Siapa tahu selama ini mereka cenderung mengganggu karena tidak memahami apa yang kita lakukan di depan laptop. Misalnya: “Ibu bisa membantuku bekerja dengan berbicara lebih pelan ketika tetangga lewat di depan rumah kita.”
Seusai bekerja, selarut apapun, sempatkan momen hening untuk mempersiapkan peralihan peran diri kita, dari pekerja, menjadi anggota keluarga. Dalam hati, ingatkan diri kita untuk sejenak melepaskan beban, emosi, stres, dan pikiran yang masih menggantung. Katakan kepada diri ini, bahwa sekarang adalah saatnya berperan sebagai seorang anak, ayah, ibu, kakak, dan adik sebagaimana biasa. Ini bisa dicoba juga sebelum kita mulai bekerja ya!
Baca juga: Mencari Bantuan Kesehatan Mental
Yang terpenting, hindari menumpuk penyebab emosi dan stres
Setiap hari, ada saja tantangan yang datang silih berganti ke hidup kita. Salah satu upaya menanggulangi stres, adalah dengan menghadapi tantangan-tantangan tersebut dan coba menyelesaikannya satu per satu. Jangan tunggu sampai menumpuk.
Masalah yang terurai akan membuat diri ini merasa lebih tenang dan siap menyambut peran lainnya dalam kehidupan. Dengan demikian, kita juga secara perlahan melatih mengelola emosi pada berbagai kondisi, tuntutan, dan tantangan.[]
Baca juga: Referensi Pola Komunikasi di Tempat Kerja dan Bagaimana Komunitas Saling Bantu Saat Masa Krisis
0 Comments
Leave A Comment