Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.
Bagaimana kabarmu setahun ini? Yuk kita sama-sama menepuk bahu sendiri. Ucapkan selamat dan terima kasih kepada diri kita karena telah berjuang begitu keras selama setahun pandemi ini.
Apa perasaan yang dominan kamu rasakan selama setahun ini? Lelah, sedih, takut, khawatir, jenuh, putus asa, atau bingung?
Wajar saja jika kamu sempat mengalami emosi tersebut selama setahun ini. Dalam tempo singkat, pandemi ini banyak sekali mengubah ragam sendi kehidupan kita. Tiba-tiba saja, kita seperti terpasung. Kita tak lagi leluasa berkunjung ke rumah kerabat, berfoto akrab, dan berbicara tanpa perantara teknologi. Sebagian orang juga tidak dapat melakukan pekerjaannya secara optimal, kesulitan finansial, dan bahkan jatuh sakit.
Baca juga: Bijak Menanggapi Isu Kesehatan Mental
Perubahan ini terjadi demikian cepat, hingga tak memberi waktu kepada kita untuk sempat beradaptasi. Maka tak heran jika kita merasa kaget dikarenakan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang selama ini asing bagi kita. Oleh sebab itu, wajar bila kemudian muncul gejolak penolakan, rasa ingin protes, dan menyangkal situasi yang sedang terjadi saat ini. Rasa takut, cemas, dan marah pun kerap tak terelakkan.
Sayangnya kita tak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Oleh sebab itu, emosi yang kita rasakan pun, jika ditambah dengan ketidakpastian, bisa berisiko menimbulkan frustasi. Meski begitu, kita perlu mengetahui sampai batas apa emosi tersebut menjadi tidak wajar. Yakni, ketika emosi tersebut sampai mengganggu aktivitas, menurunkan kualitas hidup, merusak relasi dengan orang lain, dan membuat kita kesulitan melakukan tanggung jawab sehari-hari.
Supaya kita tetap bisa mencari nafkah, menggapai impian, dan menjaga orang-orang yang kita sayangi lebih lama lagi, kita perlu menjaga kesehatan mental untuk mengupayakan hidup yang berkelanjutan. Salah satunya ialah dengan cara meregulasi emosi dan stres selama masa pandemi. Atau, jika memang sudah membutuhkan bantuan, jangan ragu untuk meminta bantuan profesional, ya!
Baca juga: Memahami Stres dan Beban Ganda Pada Perempuan Bekerja
Bagaimana cara menyikapi emosi yang kita rasakan selama pandemi? Yuk simak tahapnya!
Pertama, kenali faktor-faktor yang dapat mengganggu kesehatan mental
Ambil lah secarik kertas, dan tulis satu per satu, faktor apa saja yang mempengaruhi kesehatan mental kita selama setahun belakangan. Ini akan membantu kita memahami penyebab dari segala emosi yang kita rasakan.
Sebagai pengingat, berikut adalah beberapa faktor yang mungkin dialami selama pandemi Covid-19:
- Tidak terpenuhinya kebutuhan bersosialisasi sebagaimana biasanya
Diam di rumah, bekerja dari kamar, dan membatasi pertemuan dengan sahabat dan kerabat adalah gaya hidup yang belum tentu bisa diterima oleh semua orang. Padahal, manusia adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan komunikasi dengan individu lain.Selama pandemi, untuk bisa berkomunikasi, kita harus terlebih dahulu mengenakan masker, berbicara pada jarak tertentu, dan mempelajari aplikasi telepon daring (Baca juga: Perubahan Pola Komunikasi ke Digital Selama Pandemi) . Aturan-aturan baru ini dapat membuat individu merasa terasing, sendirian, dan frustasi. Terlebih bagi kelompok usia lanjut yang lebih akrab dengan pertemuan langsung alih-alih teknologi. Perubahan pola komunikasi ini bisa sangat berdampak bagi kesehatan mentalnya.
- Mobilitas yang terbatas
Pembatasan ruang gerak, larangan ke luar kota, kewajiban menyertakan hasil tes sebelum memasuki wilayah tertentu, dilema menggunakan transportasi publik, dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja membuat individu yang biasanya memiliki mobilitas tinggi, menjadi bingung dan terkungkung.Apalagi bagi kita yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan keterbatasan budget untuk transportasi, faktor ini dapat membuat putus asa ketika dihadapkan dengan kondisi darurat. Misalnya, saat harus kontrol rutin ke dokter atau upacara pemakaman keluarga di kota yang berbeda.
- Cemas terhadap kondisi kesehatan
Pernah tak bisa tidur berhari-hari karena cemas karena mengalami gejala demam dan flu setelah keluar rumah? Tak hanya ancaman terkena Covid-19, kekhawatiran ini juga hinggap pada pasien yang terlebih dahulu memiliki riwayat penyakit. Mungkin ada di antara kita yang menunda perawatan lantaran patuh pada imbauan tetap di rumah, khawatir terinfeksi Covid-19 di perjalanan, atau karena ruang perawatan RS yang kini banyak dialokasikan untuk merawat pasien Covid-19.Mungkin ada pula di antara kita yang rela mengalokasikan dana lebih besar daripada biasanya, untuk kebutuhan kesehatan. Atau, ada pula yang kebingungan memenuhi kebutuhan nutrisi keluarga sementara pemasukan terhenti sementara.
- Kesulitan finansial
Penurunan daya beli dan terhentinya rantai bisnis selama waktu yang panjang menyebabkan ditutupnya sejumlah lapangan pekerjaan. Budaya masyarakat kita yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah dapat membuat para kepala keluarga frustasi setelah mengalami pemotongan gaji atau PHK.Kondisi ini dapat berefek domino terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga lantaran hanya laki-laki yang memiliki akses terhadap sumber penghidupan. Akibatnya, rentan terjadi konflik dan penurunan kualitas hidup antara suami, istri, dan anak. Istri berisiko melakukan kerja domestik lebih intens dalam kondisi rumah tangga yang emosional dan tuntutan yang lebih besar.
- Peralihan fungsi dan peran
Pegawai yang bekerja dari rumah dalam waktu bersamaan harus berperan sebagai orang tua untuk anaknya. Pembagian waktu dan peran pun menjadi bias sehingga individu rentan mengalami kelelahan dan melampiaskan emosi pada waktu dan tempat yang tidak sesuai.Ada pula pegawai yang kehilangan pekerjaan sehingga harus merintis usaha kecil. Ada seorang anak yang harus menjadi kepala keluarga menghidupi ibu dan empat adiknya karena ayahnya meninggal. Ada orang tua yang harus menjadi guru dan dituntut untuk memahami teknologi karena mesti mendampingi anak belajar menggunakan internet. Dan lain sebagainya.
Baca juga: Tanda-tanda Kamu Mengalami Kelelahan Secara Mental
Coba kita hadapi, yuk …
Selamat! Hanya dengan mendaftar ragam faktor di atas, berarti kamu sudah mau membuka diri dan memperjuangkan kesehatan mentalmu. Apalagi, butuh keberanian untuk mengenang momen-momen pahit dalam kehidupan kita yang mungkin membuka kembali luka-luka lama. Jika terlalu banyak hal untuk dicerna, sah-sah saja mengambil jarak sejenak dari masalah-masalah tersebut. Jika sudah lebih siap, mari kita beranjak ke tahapan selanjutnya.
Tahap dua. Perlu diketahui bahwa tidak semua hal dapat kita kontrol. Ada hal-hal di luar kemampuan kita yang tidak bisa kita kendalikan, seberapa pun keras kita mencobanya. Kita tidak bisa mengendalikan laju penyebaran virus, tidak bisa mengubah opini orang lain, tutupnya lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, mari membuat daftar tentang apa saja pencapaian sederhana yang berhasil kita lakukan semasa pandemi. Misalnya: sekarang sudah bisa menggunakan aplikasi video call, tanaman hias akhirnya berbunga, naik kelas, ada waktu untuk membersihkan kamar, mencoba resep masakan, dan lain-lain.
Tiga, menata ekspektasi. Tapi bagaimana bila upayamu tidak membuahkan hasil seperti yang kamu harapkan? Rencanamu tidak berjalan baik? Anganmu tidak tercapai? Jika ya, maka wajar jika kita mengalami kekecewaan dan keputusasaan dalam hidup. Salah satu yang perlu dilakukan ialah menata kembali ekspektasi kita. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk berpikir realistis, mempertimbangkan banyak tantangan dan hambatan, sebelum memasang target dan rencana hidup. Pelan-pelan.
Empat, lakukan aktivitas positif yang kita gemari. Salah satu cara meregulasi emosi ialah dengan menyalurkannya ke ragam aktivitas positif yang membuat kita merasa nyaman. Sesederhana menyiram tanaman, melihat gerak-gerik hewan peliharaan, berbincang dengan sahabat, berolahraga, melakukan hobi, atau menyediakan waktu untuk memanjakan diri sendiri. Temukan pola relaksasi yang cocok untuk kebutuhanmu.
Lima, manajemen risiko. Selain menjadi individu yang lebih realistis, cobalah untuk bersikap waspada serta bertanggung jawab pada kesehatan diri sendiri dan orang lain. Patuhi imbauan pemerintah dan kurangi aktivitas yang berisiko dan berpotensi membuat kecemasan meningkat (misalnya: melepas masker saat bertemu dengan keluarga, berkumpul di keramaian, atau keluar rumah selain untuk urusan penting).
Keenam, jadilah individu yang berbela rasa dengan orang lain yang sedang sama-sama berjuang.
Tentunya banyak sekali orang di luar sana yang tengah mengalami kondisi yang sulit. Menjadi orang yang sensitif dan berempati juga secara tak langsung bakal membuat kondisi mental kita lebih tenteram. Mungkin bisa dimulai dengan memahami keputusan seorang Ibu Rumah Tangga yang bekerja menggantikan suaminya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bisa juga dengan mendukung tetangga yang baru memulai usaha kecilnya setelah kena PHK. Jika ada rekan yang tertular Covid-19, baik bila kita tidak mengucilkannya.
Kita dapat pula memaklumi pilihan berbeda pada setiap orang. Mungkin ada teman kita yang menolak ke luar rumah karena ingin patuh pada protkes. Sebaliknya, mungkin ada pula yang tetap harus keluar rumah untuk menghidupi keluarganya. Memberi dukungan pada apapun pilihan mereka, dapat menjadi satu langkah baik bagi orang lain dan untuk ketenteraman diri sendiri.
Pada akhirnya, ini adalah saatnya bagi kita untuk sama-sama ambil bagian dalam penguatan komunitas. Sikap saling dukung juga akan meringankan orang lain melalui masa-masa sulit mereka di tengah situasi yang tidak pasti ini. Semoga kita dapat melaluinya bersama-sama![]
Baca juga: Referensi Pola Komunikasi di Tempat Kerja dan Bagaimana Komunitas Saling Bantu Saat Masa Krisis
0 Comments
Leave A Comment