Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women” (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.

Teman-teman tentu tak asing dengan istilah “worklife balance” yang belakangan ini ramai diperbincangkan, kan? Bukannya tak mungkin bila diskusi mengenai topik ini lantas membuat kita bercermin dan menelisik aspek lingkungan kerja selama ini. Bahkan, kita mulai membandingkan diri sendiri dengan kondisi orang lain.

“Selama ini aku sudah menerapkan worklife balance belum ya?”
“Aduh boro-boro deh. Kerja di sektor pariwisata mana ada liburnya.”
“HRD-nya aja nggak pengertian, worklife balance mah cuma mitos.”

Eits, tunggu dulu, teman-teman. Sebelumnya, tahukah kamu definisi worklife balance? Apakah komposisinya harus 50% bekerja dan 50% rebahan? Memangnya siapa yang bertanggung jawab menciptakan worklife balance?

Kali ini kami telah mewawancarai 3 orang yang akan mengulas tentang topik satu ini. Pertama, Psikolog dari Yayasan Pulih. Kedua, ada Yakob (laki-laki, 31 tahun) yang bekerja di sektor media. Dan yang ketiga adalah AG (perempuan, 32 tahun) yang merupakan seorang HRD di sebuah perusahaan swasta.

Ketiganya berbagi mengenai definisi worklife balance, dilemanya, dan bagaimana mereka mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Mengapa kita membutuhkan worklife balance?
Sekitar dua tahun yang lalu, Yakob merasa tidak lagi sanggup menanggung bobot pekerjaannya. Masuk sejak pukul 9 pagi, ia bahkan masih harus membuat tulisan untuk klien pada pukul 1 dini hari. Padahal keesokan harinya ia perlu jaga piket sejak pukul 6 pagi.

Pada awalnya, Yakob yang sempat kesulitan memperoleh kerja di perantauan, terus-terusan berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dinamika tersebut wajar. “Aku cuma nge-remind diriku bahwa mencari pekerjaan itu susah. Maka aku terus bertahan. Saat itu aku berpikir, mungkin memang itulah risiko pekerjaan yang harus aku jalani.”

Meski begitu, tibalah ia pada sebuah peristiwa yang membuatnya tak hanya merelakan waktu istirahat, tetapi juga momen ibadahnya. Rekannya menanyakan kapan kira-kira ia selesai ibadah supaya dapat segera mengerjakan revisi. “Akhirnya aku ambil opsi resign. Resign ini juga perlu melihat level masalahnya, ya. Bukan karena gak betah dikit langsung keluar. Kalau sampai nggak diizinkan ibadah, itu kan sudah nggak tepat.”

Baca juga: Menimbang Manfaat Berkarier Sebelum Memutuskan untuk Resign

Apakah yang dialami oleh Yakob termasuk salah satu fenomena sulitnya menerapkan worklife balance? Tapi sebelum itu, apa sih sebenarnya worklife balance itu? Psikolog Yayasan Pulih menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak ada definisi spesifik untuk “worklife balance”. Istilah populer ini berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai isu mental health.

“Konotasi yang selama ini berkembang, seimbang atau balance itu harus fifty-fifty. Padahal nggak. Jadi balance di sini maksudnya adalah menyeimbangkan ragam aspek dalam kehidupan kita di samping  pekerjaan (aspek sosial, hobi, keluarga, diri sendiri, dll). Aspek ini banyak. Jadi terminologi worklife balance sebenarnya lebih ke bagaimana cara manusia memperhatikan dan menyeimbangkan semua aspek tersebut,” demikian Psikolog Yayasan Pulih menjelaskan.

Jika Yakob merasa aspek spiritualnya terganggu, beda pula dengan apa yang dialami oleh AG. Bekerja sebagai HRD yang mengurus perekrutan dan personalia, ia menyadari betul bahwa karyawan di kantornya justru berharap ia menjadi agen yang berupaya menciptakan iklim worklife balance di lingkungan kerja. Tetapi sayangnya, ia sendiri juga mengalami masalah tersebut dalam kesehariannya.

Tuntutan pekerjaan yang tinggi semasa pandemi mengharuskannya tetap standby lebih dari 10 jam di depan layar. Dalam pikirannya, ia tidak boleh di-PHK oleh perusahaan hanya karena ia anggota paling baru dalam timnya. Ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan status karyawan tetap.

Tetapi yang terjadi, ia kerap dirundung kecemasan. Proses adaptasi, ketidakpuasan terhadap diri sendiri, dan stres pandemi malah membuatnya mengalami gangguan fisik dan mental. Ia jadi mudah menangis dan mengalami kerontokan rambut. Upayanya mengelola emosi dengan melakukan hobi seperti merawat tanaman dan berolahraga hanya berhasil mengalihkan pikirannya untuk sementara saja.

“Pada bulan keenam, gue cuma mikir bahwa gue nggak bisa terus-menerus mencemaskan ketakutan-ketakutan itu. Gue bilang ke diri gue sendiri, ‘Saya sudah melakukan semaksimal saya, apapun hasilnya itu sudah di luar kendali saya.’ Itu cara gue meraih worklife balance, yaitu deal dengan keadaan,” ujar AG.

Baca juga: Cara Menghindari Burnout Saat Bekerja dari Rumah

Mengenai gangguan kesehatan mental yang muncul, Psikolog Yayasan Pulih mengatakan bahwa hal tersebut kemungkinan besar dapat terjadi karena tidak terpenuhinya beberapa aspek dalam kehidupannya. Merasa ada yang kurang, merasa hampa, dan bila dibiarkan berlanjut, tanpa disadari bisa mengarahkan pada ketidakseimbangan hidup kita dalam berbagai aspek. Kita juga lebih mudah stress dan jika faktor internal (dalam diri) dan eksternal (lingkungan, keluarga, tempat kerja, dsb) tidak kita kelola dengan baik, maka bisa muncul gangguan kesehatan mental yang lebih serius seperti depresi.

Menurutnya, gejala ini pernah ditemukan pada orang-orang yang bekerja di sektor kemanusiaan. “Sudah mengalami fatigue, tapi mereka merasa ‘Saya tidak boleh stop. Kalau bukan saya, siapa lagi.’ Padahal, kalau sudah begitu, hasil kerjanya tidak akan maksimal. Ia butuh rehat. Tetapi sebaliknya, ia malah menyangkal daripada pekerjaannya tidak selesai.”

Manfaat worklife balance
Tak hanya menggangu kesehatan fisik dan mental, penerapan aspek kehidupan yang tidak seimbang juga dapat mengakibatkan masalah interpersonal. Pribadi yang lebih emosional  dapat menyebabkan masalah komunikasi, merusak relasi dengan orang lain, bahkan merugikan orang di sekitarnya. Terutama bila kinerjanya memburuk dan kemampuan kognisinya terganggu.

Sebaliknya, penerapan worklife balance malah akan membawa keuntungan tak hanya bagi individu tersebut, tetapi juga bagi orang di sekitarnya. Bagi Yakob, setelah ia menemukan kantor baru yang lebih balance, ia merasa dapat mengembangkan kemampuan menulis, lebih mindfull menjalankan tugasnya, merasa puas akan kemampuan diri sendiri, dan bisa berjumpa dengan teman-temannya di akhir pekan.

Seperti Yakob, individu yang mengalami worklife balance memang berpeluang mengembangkan diri pada aspek kehidupannya yang lain. Bila ia suka menghabiskan waktu dengan keluarga, maka ia akan mengasah kemampuan mendengar. Bila ia suka melakukan hobi traveling, maka ia dapat mengasah kemampuan bahasa asing, public speaking, toleransi, atau manajemen waktu. Dan lain-lain.

Selain itu, performanya pun akan lebih baik di tempat kerja. Dengan kata lain, worklife balance justru menjaga supaya pekerja tidak burn out sehingga bertahan lebih lama di perusahaan tersebut dan membawa keuntungan yang lebih besar.

Bagaimana cara menerapkan worklife balance?
Meski begitu, tidak semua orang memiliki peluang menerapkan worklife balance. Ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi terciptanya worklife balance. AG beranggapan belum semua perusahaan di Indonesia memiliki perhatian terhadap isu kesehatan mental.

“Gue nemu fenomena di kantor, makin banyak karyawan yang memutuskan untuk resign buat beristirahat. Setidaknya 3 dari 10 orang. Mereka nggak terlihat seperti orang sakit parah, nggak. Tapi mereka seperti kendaraan yang kehabisan bensin, sedangkan dia nggak punya atasan yang bisa support dia. Sedihnya mereka ini kepala keluarga yang belum punya pekerjaan baru dan memang tujuan resign-nya untuk recovery,” jelas AG.

Psikolog Yayasan Pulih menyampaikan, untuk konteks Indonesia sebagai negara berkembang, kita memang sedang ada dalam fase mengejar target ekonomi. Karena itu, pekerja pun digenjot untuk makin produktif. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran akan kesehatan mental yang memadai.

“Awareness kesehatan mental masih sedikit, apalagi buat perusahaan-perusahaan yang leader-nya dari generasi atas. Sedangkan terminologi worklife balance ini baru booming beberapa tahun belakangan dengan gagasan seperti self-care dan self-love di kalangan anak muda. Sementara bagi generasi atasnya mungkin masih tabu membahas soal kesehatan mental. Memang generasi atas kini sudah lebih lebih terpapar, tetapi mungkin masih belum terlalu bisa relate seperti anak-anak muda saat ini,” demikian jelas Psikolog Yayasan Pulih tersebut.

Selain itu, kultur dan kebijakan perusahaan juga menjadi faktor. Ada perusahaan yang mewajibkan karyawannya untuk mengambil cuti, menyelenggarakan no virtual meeting day, ada HR yang rajin menanyakan kabar karyawan, melakukan assessment kesehatan mental, dan lain sebagainya.

Menerapkan worklife balance, tanggung jawab siapa?
Meski begitu banyak faktor yang mempengaruhi penerapan worklife balance, baik Yakob, AG, dan Psikolog Yayasan Pulih sepakat bahwa menciptakan worklife balance adalah tanggung jawab setiap individu.

Yakob beranggapan, kita sebagai individu lah yang paling memahami kondisi fisik dan mental kita. Kesehatan mental itu penting sehingga perlu diperjuangkan.

Untuk teman-teman yang masih berjuang mengaplikasikan worklife balance dengan ragam kendalanya, AG menyampaikan, “Untuk mencapai worklife balance, kita memang perlu dukungan atasan, rekan kerja, dan keluarga. Tapi ingat, kita gak bisa menuntut orang lain melakukan apa yang kita harapkan. Kalau kita nggak bisa punya lingkungan kerja dan keluarga yang menghormati waktu kita, maka kita yang harus bisa mengatakan tidak. Kita harus bisa me-maintain kapan bisa meladeni dan kapan harus stop.”

Komunikasi memang sangat penting dalam upaya menciptakan worklife balance demi kebaikan diri sendiri dan orang di sekitar kita. Memang sulit untuk berani menolak dan berkata tidak, tetapi harus. Jika terasa sulit, kita bisa melatihnya perlahan-lahan. Mungkin mulai dengan membatasi jam kerja atau mengatakan, “Malam ini saya sudah ada janji membantu anak mengerjakan PR. Revisinya saya kirim besok siang ya.”

“Kayak di pesawat kalau oksigennya turun, kan kita perlu membantu diri kita sendiri dulu baru membantu orang lain. Tetapi bukan egois ya. Batasan egois atau tidaknya ini tergantung konteks. Kalau sampai merugikan orang lain, maka sudah bukan worklife balance. Itu menyelamatkan diri sendiri,” ungkap Psikolog Yayasan Pulih.

Ia juga mengingatkan kita untuk jangan ragu untuk menawarkan bantuan kepada teman. Menegur, menanyakan kabar, atau menawarkan bantuan dapat menjadi pertolongan pertama. Memberi sedikit perhatian seperti, “Cuti dulu sana. Kayaknya kamu lagi sering uring-uringan,” dapat membantu mereka menyadari bahwa mereka mungkin memerlukan bantuan atau perlu mencari informasi atas perasaan tidak nyaman yang sedang dialami.”

Baca juga: Cara Membangun Empati di Lingkungan Kerja

Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu sudah dapat lebih memahami tentang worklife balance? Apakah kamu sudah menyeimbangkan waktu bekerja dengan aspek kehidupanmu yang lain?

Ingatlah satu hal ini: menyeimbangkan ragam aspek dalam kehidupan sesungguhnya membantu kita merawat diri sendiri supaya dapat terus melakukan banyak hal secara berkelanjutan. Yuk sayangi diri kita supaya kita terus produktif, bisa mengembangkan diri, dan melakukan banyak hal yang kita suka! Selamat menemukan dan menciptakan polamu keseimbanganmu sendiri. Semangat!