Ketika Indonesia dilanda pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020, tidak saja bercerita tentang meluasnya paparan virus yang berakibat terjadinya kematian pada sebagian penderitanya, pandemi juga berujung pada dikeluarkannya regulasi pembatasan ruang gerak masyarakat guna meminimalisir penularan virus, dan membuat orang harus berada di rumah saja untuk beberapa waktu. Di sisi lain, situasi pandemi yang berkepanjangan menciptakan sisi gelapnya, yakni fenomena shadow pandemic, atau terjadinya peningkatan kekerasan di ranah domestik yang menimpa perempuan dan anak.

Sebagaimana laporan dari beberapa lembaga layanan yang fokus pada perlindungan perempuan dan anak, merasakan sendiri terjadinya fenomena shadow pandemic, yakni terjadinya peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Misalnya di Komnas Perempuan, pada Maret-Juli 2020 mereka menerima 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan. Begitu juga dengan LBH Apik Jakarta, dalam laporan akhir tahun 2020 menyebutkan, mereka menerima 1.178 kasus, jumlah tersebut jelas meningkat bila dibandingkan penerimaan kasus di tahun 2019 sebanyak 794 kasus. Sementara itu layanan konsultasi psikologi Yayasan Pulih, pada Januari-Juni 2020 mengalami peningkatan klien perempuan korban kekerasan dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Tidak Pasti

Di masa tidak pasti dan sulit seperti sekarang ini, selain perempuan juga rentan mengalami paparan virus, ia juga dihadapkan pada kenyataan pada situasi hidup di dalam keluarga dan lingkungan yang masih kental dengan norma gender tradisional, yakni rentan mengalami diskriminasi, dan kekerasan. Dengan kata lain, perempuan seolah memiliki multi layer kerentanan dan resiko atas keselamatan dirinya.

Masa sulit semestinya membangkitkan kesadaran dan empati, bukannya terus melanggengkan dominasi patriarki, dan terus menormalisasinya. Pada akhirnya dapat dilihat ada banyak orang yang masih menganggap sepele dan wajar terhadap diskriminasi dan kekerasan pada perempuan (Erdianti, 2017).

Baca juga: Hindari Kekerasan Pada Anak di Masa Sulit dengan Berbagi Peran Domestik

Ironinya, menurut Estand (2012, dalam Indrasty, dkk, 2018), diskriminasi dan kekerasan pada perempuan justru banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti keluarga atau suami korban yang melakukan kekerasan fisik dan non-fisik. Normalisasi ketidakadilan berbasis gender pada akhirnya dianggap sebagai sistem masyarakat, dan salah satu aspeknya ialah mengatur tentang pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, yakni menempatkan perempuan di ranah domestik, dan laki-laki di ranah publik (Murniarti 2004, dalam Indrasty, dkk, 2018).

Kekerasan yang dialami pada perempuan tentu memiliki sejumlah dampak, diantaranya ialah trauma berkepanjangan, serta sejumlah dampak lainnya (Azelia, 2020), seperti:

Reaksi emosi: Perempuan yang mengalami kekerasan akan merasa bersalah, atau menyalahkan diri sendiri atau sebaliknya, akan merasa sangat marah, takut, tidak akan percaya, sedih, lemah, dan malu. Bahkan bisa menyebabkan ia menjadi menutup diri dari sekitar.

Dampak psikologis: Mengalami mimpi buruk, sulit berkonsentrasi, depresi, trauma hingga memunculkan gangguan pada diri mereka.

Reaksi fisik: Adanya luka fisik akibat kekerasan, serta perubahan siklus tidur, pola makan, dan respon adanya ancaman.

Kepercayaan diri: Korban merasa bahwa dirinya tidak berguna, hingga memiliki pemikiran untuk bunuh diri.

Baca juga: Praktik Mindfulness untuk Kesehatan Mental di Saat Pandemi

Lalu, bagaimana mengatasi dampak yang dialami perempuan korban kekerasan? Menurut Azelia (2020), beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menenangkan diri dan berusaha untuk bisa berpikir positif atas reaksi emosi yang dialami.
  2. Atas guncangan psikologis yang dialami, korban dapat mencari bantuan professional.
  3. Atas kekerasan fisik yang terjadi, dapat meminta bantuan pada orang yang dipercaya atau pihak berwajib untuk diselamatkan dari cengkraman pelaku, dan dapat meminta pendampingan hukum  pada lembaga bantuan hukum.
  4. Bila korban ada keinginan bunuh diri, selain korban mendapat penanganan psikologis dari professional, juga mendapat support system dari orang-orang di sekitarnya.

 Baca juga: 10 Cara Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dalam Hubungan

Antisipasi Menjadi Korban Kekerasan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar terhindar dari kekerasan, antara lain:

  • Pahami bentuk kekerasan

Bentuk kekerasan yang biasa terjadi adalah kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Maka dari itu, ada baiknya perempuan dapat lebih waspada dalam segala bentuk ancaman yang kemungkinan dapat menimpanya.

  • Pahami hubungan yang sehat

Biasanya kekerasan dapat terjadi pada seseorang yang memiliki hubungan dengan mereka, mulai dari hubungan darah, kerabat, pernikahan, ataupun hubungan intim seperti dengan pacar. Definisi singkat mengenai hubungan yang sehat adalah adanya saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Dengan adanya hal tersebut dapat meminimalkan kekerasan terjadi.

  • Waspada pada perubahan

Perhatikan perilaku, sikap, dan gelagat sekitar jika saja terjadi perubahan yang mencurigakan. Pelaku bisa datang dari orang-orang terdekat, hingga orang yang tidak dikenal.

  •  Hindari lokasi berbahaya

Pada beberapa kasus kriminal, pelaku kejahatan menjadikan perempuan sebagai targetnya. Untuk itu patut mempertimbangkan untuk menghindari lokasi yang rawan.

Isu kekerasan terhadap perempuan menjadi persoalan yang terus bergulir dari masa ke masa. Untuk itu menjadi kewajiban kita bersama untuk mengakhirinya, terutama bagi pihak yang berwenang untuk membuat regulasi yang dapat mengikis norma gender yang bias, yang merugikan perempuan, serta penegakan regulasi yang dilakukan tanpa tebang pilih, terutama bila pelakunya adalah orang-orang berpengaruh, dan korbannya secara sosial masyarakat biasa. []

Baca juga: Peduli Kesehatan Mental di Tengah Situasi yang Serba Tidak Pasti

By: Nabilah Alif

 

Ed: WS 

 

Daftar Referensi 

Agar perempuan terhindar dari kekerasan. (2018). CNN Indonesia. Diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181206121647-284-351575/agar-perempuan-terhindar-dari-kekerasan 

Amirullah (2021). Komnas perempuan: ada 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020. Tempo.co. Diakses melalui https://nasional.tempo.co/read/1439271/komnas-perempuan-ada-299-911-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-sepanjang-2020

Azelia, T. (2020). Dampak psikologis kekerasan terhadap perempuan. SehatQ. Diakses melalui https://www.sehatq.com/artikel/dampak-psikologis-kekerasan-terhadap-perempuan 

CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar fakta dan poin kunci (5 Maret 2021). (2021). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Diakses melalui https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021 

Erdianto, K. (2017). Kaum perempuan di antara budaya patriarki dan diskriminasi regulasi. Kompas.com. Diakses melalui https://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/08481931/kaum.perempuan.di.antara.budaya.patriarki.dan.diskriminasi.regulasi?page=all

Indrasty, R., Wibawa, D., & Rojudin. (2018). Gender dalam kasus kekerasan terhadap perempuan di media online. Jurnal Ilmu Jurnalistik 3(1), 90-112. Diakses melalui  https://jurnal.fdk.uinsgd.ac.id/index.php/annaba/article/view/581/92 

https://baktinews.bakti.or.id/index.php/artikel/kekerasan-terhadap-perempuan-di-masa-pandemi

https://www.lbhapik.org/2021/01/catahu-lbh-apik-jakarta-perempuan.html