“Laki-laki harus tegas, donk! Jangan lembut gitu! Gimana bisa jadi pemimpin!?”
“Jadi perempuan kalau sudah nikah, fokus aja urus keluarga, gak usah kerja.”
“Mobil di depan lambat banget, sih? Pasti yang nyetir cewek!”
Kalimat-kalimat tersebut sering kita dengar, atau mungkin kita sendiri yang pernah mengucapkannya. Ya, kalimat di atas merupakan contoh dari seksisme berbasis gender.
Seksisme merupakan prasangka dan anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih baik daripada jenis kelamin yang lain (Hadi, 2021). Siapa saja bisa menjadi sasaran seksisme, tetapi dalam konteks gender tradisional, perempuan adalah pihak yang paling banyak menjadi sasaran seksisme, mulai dari keluarga, komunitas, tempat beraktivitas sehari-hari (sekolah, kampus, tempat kerja), hingga pada dunia politik masih menganggap perempuan tidak layak memimpin sebuah daerah atau negara, karena distigma lemah dan emosional.
Baca juga: Toxic Masculinity: Ketika Laki-laki dituntut Selalu Kuat
Adanya perilaku seksisme akibat budaya patriarki yang melekat di tengah masyarakat, dimana perempuan dianggap lebih lemah dari laki-laki, sehingga masyarakat kemudian membuat pembagian peran gender berdasarkan jenis kelamin, yakni laki-laki sebagai pihak yang dianggap kuat di tempatkan di ranah publik, dan perempuan yang dianggap lemah di tempatkan di ranah privat (mengurus keluarga). Pembagian peran tersebut juga diiringi dengan struktur sosial yang memposisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan (Dra. Nadlrotus Sariroh, MA).
Ironisnya, seksisme seolah mendapat validasi dan tempat di tengah-tengah kita, di mana seksisme terjadi kapan saja dan di mana saja. Dia terjadi di sekitar kita, dalam obrolan dan candaan teman-teman kita, di media cetak, elektronik, media sosial, film, iklan suatu produk, dll.
Salah satu contoh bentuk seksisme yang terjadi pada kehidupan sehari-hari ialah dalam bentuk candaan atau humor oleh kelompok laki-laki dengan menjadikan perempuan sebagai objeknya. Humor seksis tersebut dianggap sesuatu yang wajar dilakukan, dan biasanya mereka beralasan hanya untuk mencairkan suasana, dan membuat orang-orang tertawa dan gembira (Rahman, 2019).
Dampak seksisme
Di tengah masyarakat yang masih kental dengan norma gender tradisional, menjadikan perempuan sebagai sasaran seksisme masih menjadi peristiwa yang banyak ditemukan, padahal terdapat dampak tersendiri pada korban seksisme. Sebagaimana survey yang dilakukan Young Women, di Inggris, mereka telah mensurvei 2.995 responden dengan variasi usia 16 sampai 93 tahun. Pada survei tersebut menemukan bahwa seksisme berdampak pada kesehatan mental perempuan yang menjadi korban seksisme (Utami & Muhibati, 2021) .
Pada survei lainnya menemukan ada sebanyak 82% perempuan berusia muda yang mengalami seksisme saat berada di luar rumah, seperti sekolah, angkutan umum, dan tempat kerja (Pratiwi, 2019). Dari hasil survei itu diketahui munculnya depresi klinis lima kali lipat. Ada banyak responden yang merasa insecure hingga takut bepergian keluar rumah bahkan ke sekolah. Sementara dampak pada responden pekerja selain mereka kehilangan kepercayaan diri, mereka juga enggan pergi ke kantor.
Melihat hasil penelitian dampak dari seksisme pada korbannya, semestinya membuat kita peduli dan menyadari betapa seksisme bukanlah hal sepele dan tidak boleh dinormalisasi. Seksisme adalah cara buruk dalam membangun kegembiraan melalui humor seksis karena hal tersebut berdampak pada kesehatan mental korbannya.
Baca juga: 10 Cara Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dalam Hubungan
Bagaimana agar tidak menjadi pelaku seksisme?
- Fahami bahwa setiap orang memiliki keunikan dan kelebihannya masing-masing
- Perbedaan jenis kelamin tidak mengartikan salah satunya lebih rendah dan satunya lebih mulia, sehingga tidak ada alasan berperilaku seksis
- Pembagian peran berdasarkan jenis kelamin merupakan praktik bias gender, sehingga keliru bila mengglorifikasinya dengan menjadi seksis
Secara bersama-sama kita bisa mengikis seksisme yang dimulai dari diri sendiri, terutama yang mengarah pada ketidakadilan gender. Kita dapat memulainya dengan tidak lagi berstatemen, bercanda seksis, dan merendahkan.[]
Baca juga: Peran Positif Laki-Laki dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
By: Nabilah Alif
Ed: WS
Referensi
https://tirto.id/apa-itu-seksisme-dan-contohnya-dalam-kehidupan-sehari-hari-f9si
https://male.co.id/detail/4732/pria-seksisme-lebih-banyak-digandrungi-wanita-men-scope-2
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/23
http://digilib.uinsgd.ac.id/27283/25/4_bab1.pdf
https://kumparan.com/nona-gae-luna1519199971381/stop-seksisme-dalam-hidup-sehari-hari
0 Comments
Leave A Comment