Lydia melaporkan pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya, semuanya masih di bawah 10 tahun. Terduga pelaku adalah mantan suaminya, ayah kandung mereka sendiri, seorang aparatur sipil negara yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah. 

Polisi menyelidiki pengaduannya, tapi prosesnya diduga kuat penuh manipulasi dan konflik kepentingan. Hanya dua bulan sejak ia membuat pengaduan, polisi menghentikan penyelidikan (Rusdianto, 2021).

Ketika Lydia pergi melaporkan kasus tersebut ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPTPPA) Luwu Timur, Kepala Bidang Pusat Pelayanan mengambil tindakan dengan langsung menghubungi terduga pelaku untuk datang. Hal tersebut dilakukannya untuk membuktikan apakah ketiga anak tersebut menunjukkan trauma saat bertemu ayahnya.

“Kan, sesama ASN. Mau dikonfirmasi”. Ujar Kepala Bidang Pusat Pelayanan.

Lantas, dengan status dan jabatan yang disandang, apakah keadilan untuk korban harus dikesampingkan? Mengapa tak mengutamakan pendampingan korban terlebih dahulu sebelum menjustifikasi pelaporan dengan terduga pelaku?

Meskipun penyelewengan kekuasaan kerap terjadi, itu bukan suatu hal yang bisa dinormalisasi. Mari kita kenali, konsep ini dikenal sebagai abuse of power. 

Apa itu abuse of power?

Menurut Kementrian Kehakiman Amerika Serikat, abuse of power adalah penyalahgunaan posisi kekuasaan untuk mengambil keuntungan yang tidak adil dari individu, organisasi, atau pemerintah. Abuse of power memiliki dampak yang sangat besar pada urusan ekonomi, sosial, dan politik suatu bangsa.

Berhubungan dengan kasus Lydia, Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Resky Pratiwi, menanggapi hasil asesmen psikologi PPTPPA Luwu Timur terhadap Lydia dan anak-anaknya. Hasil asesmen tersebut menyatakan bahwa Lydia mengalami delusi terkait dengan kasus yang dilaporkannya sehingga penyelidikan tidak perlu dilanjutkan. Menurut Resky, sejak awal terdapat maladministrasi dan kecenderungan keberpihakan petugas PPTPPA Luwu Timur terhadap terlapor, yang merupakan ASN, sehingga asesmen yang diberikan tidak objektif (Batubara & Mappiwali, 2021).

Meskipun tidak terjadi secara langsung, keberpihakan petugas PPTPPA Luwu Timur terhadap terduga pelaku mengindikasikan adanya penyelewengan kekuasaan, dimana jabatan terduga pelaku sebagai ASN menutup mata keadilan dan membatasi hak-hak korban dalam proses penyelidikan. Bagaimanapun, kesaksian dari Lydia dan ketiga anaknya tidak sebanding dengan kekuatan terduga pelaku yang berperan sebagai ayah korban dan memiliki posisi di kantor pemerintahan daerah.

Penyelewengan Kekuasaan dan Hubungannya dengan Ketidaksetaraan Gender

John Bargh (2017), seorang psikolog sosial dan kognitif mengatakan bahwa seseorang dengan kekuasaan tinggi memiliki tendensi kuat untuk mencapai tujuan pribadinya meskipun perlu mengorbankan orang lain. Kekuasaan juga memberikan kemampuan bagi seseorang untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan, terlepas dari ketidaksetujuan pihak lain.

Dalam institusi yang didominasi laki-laki seperti bangku-bangku pemerintahan, jarak kedudukan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakar dalam persepsi masyarakat seakan menjadi pemantik dari api ketidaksetaraan yang tak berkesudahan. Konsep ini melanggengkan idealisasi perilaku “maskulin” yang didapatkan dari bagaimana mereka mengoptimalkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. 

Ibaratnya, mereka menganggap bahwa tidak mungkin seorang ayah yang merupakan ASN melakukan tindakan asusila. Bahkan, sangat mulia tindakan sang ayah untuk membagi hak asuh ketiga anaknya dengan mantan istrinya yang sudah berpisah.

Sebagai akibatnya, peran terduga pelaku sebagai pemerkosa tertutupi oleh perannya sebagai ayah yang bertanggung jawab dan aparatur sipil negara yang bermartabat tinggi. Sedangkan, seorang ibu dan tiga anak yang tersakiti tidak didengar dan dianggap menyebarkan berita palsu.

Korban kekerasan disalahkan, penyelidikan tidak dilanjutkan, pelaku berkeliaran. Apa yang harus kita lakukan?

Dacher Keltner, profesor psikologi di University of California, Berkeley, telah menghabiskan 25 tahun mempelajari bagaimana kekuatan mengubah manusia. Untuk menghentikan penyalahgunaan, Keltner berpendapat bahwa kita perlu mengubah sistem sosial yang menopang penyelewengan kekuasaan (Mills, 2018).

Pertama, kita perlu lebih memberikan atensi pada cerita korban kekerasan maupun pelecehan tanpa prasangka subjektif. Apa yang korban alami itu nyata, apa yang mereka rasakan itu valid.

Kedua, kita memerlukan dorongan keterlibatan perempuan untuk menduduki posisi-posisi strategis pada jabatan publik agar kebijakan yang dihasilkan dapat lebih adil bagi perempuan. Sebagai informasi, dominasi laki-laki di ruang publik bukan hanya saja menciptakan regulasi yang timpang gender, tetapi beberapa kasus pelecehan seksual di tempat kerja pelakunya didominasi oleh laki-laki. 

Ketiga, kita perlu membantah mitos-mitos yang melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan. Adapun mitos yang paling umum adalah:

Wanita itu kan, dihidupkan oleh pria yang berkuasa!

Udah deh…jangan ngebantah, nurut aja sama laki-laki. Mereka lebih kuat!”

Sedangkan, penelitian menunjukkan bahwa semua argumen yang digunakan untuk membenarkan atau merasionalisasi penyalahgunaan kekuasaan hanyalah omong kosong belaka.

Dengan upaya-upaya diatas,

Korban tak lagi menderita

Ruang yang aman dan adil dapat tercipta

Kesetaraan tak lagi sekadar menjadi cita-cita

 

Mungkin menciptakan dunia dengan sistem yang ideal masih jauh rasanya, tetapi apa salahnya kita mencoba?[]

 

Penulis: Mutiara Maharani Putri Camelien

 

Referensi

Auchter, B., Katz, J., & Graham, M. (n.d.). Crime and the Abuse of Power: Offenses and Offenders Beyond the Reach of Law?. Retrieved from https://www.ojp.gov/ncjrs/virtual-library/abstracts/crime-and-abuse-power-offenses-and-offenders-beyond-reach-law. 

Bargh, J. (2017). Before you know it: The unconscious reasons we do what we do. Simon and Schuster.

Batubara, H., & Mappiwali, H. (2021). Kapolres Luwu timur jelaskan viral penghentian kasus ‘3 anak saya diperkosa’. detiknews. Retrieved October 8, 2021, from https://news.detik.com/berita/d-5756676/kapolres-luwu-timur-jelaskan-viral-penghentian-kasus-3-anak-saya-diperkosa. 

Koester, D. (2015). Gender and power: six links and one big opportunity. Developmental Leadership Program. Retrieved October 8, 2021, from https://www.dlprog.org/opinions/gender-and-power-six-links-and-one-big-opportunity. 

Mills, H. (2018). Gender imbalances fuel the abuse of power. Retrieved October 8, 2021, from https://www.accaglobal.com/gb/en/member/discover/cpd-articles/leadership-management/gender-imbalancecpd.html. 

Rusdianto, E. (2021). 3 anak saya diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan penyelidikan. Tempo. Retrieved October 8, 2021, from https://nasional.tempo.co/read/1514857/3-anak-saya-diperkosa-saya-lapor-ke-polisi-polisi-menghentikan-penyelidikan.