Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women” (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.
Sahabat Pulih, apakah kamu pernah mengalami peristiwa kurang nyaman di kantor yang diakibatkan oleh perbedaan perlakuan berbasis gender?
Contoh kasusnya:
(A) Perusahaan mendahulukan mempromosikan karyawan laki-laki daripada perempuan.
(B) Atasan lebih suka memberikan tambahan pekerjaan kepada karyawan laki-laki karena tidak tega memberi banyak pekerjaan kepada karyawan perempuan.
(C) Bos laki-laki lebih disukai daripada perempuan karena dianggap lebih logis.
(D) Sales perempuan diminta menggunakan rok pendek untuk menarik customer.
(E) Gaji karyawan ditentukan berdasarkan gender alih-alih performanya.
Sahabat Pulih pernah mengalami atau menyaksikan peristiwa serupa? Apakah kamu berada pada posisi yang diuntungkan atau dirugikan? Apa tanggapanmu? Tindakan apa yang kamu lakukan setelahnya?
Perasaan yang hinggap dalam benakmu adalah wajar. Sangat manusiawi. Ada yang merasa lega karena mendapatkan manfaat sehingga bisa lebih mudah menapaki puncak karier. Akan tetapi, ada pula yang merasa kesal dan marah karena diperlakukan tidak adil.
Kesenjangan manfaat yang diperoleh tersebut dapat menyebabkan konflik antar-pekerja itu sendiri. Lama kelamaan, konflik yang berkepanjangan dapat memicu karyawan merasa stres dan frustrasi.
Misalnya pada stereotip bahwa bos perempuan kurang disukai lantaran cenderung mudah emosian, gampang baper, atau dianggap tidak akan total bekerja karena harus membagi fokus mengurus keluarganya.
Jika sebuah perusahaan melanggengkan anggapan demkian, maka hal tersebut dapat membuat karyawan perempuan pada perusahaan tersebut merasa putus asa karena sekeras apapun berusaha, ia tidak akan mendapat apresiasi yang semestinya. Atau bisa jadi malah menurunkan performa serta motivasi berkompetisi pada karyawan perempuan.
Contoh lainnya, bila perusahaan lebih suka memberikan pekerjaan tambahan kepada pekerja laki-laki karena merasa kasihan dengan pekerja perempuan. Hal tersebut akan berisiko membuat pekerja laki-laki merasa kelelahan baik secara fisik maupun mental. Juga berpotensi melanggengkan strereotip bahwa perempuan itu lemah dan memiliki keterbatasan kompetensi sehingga perlu dimaklumi.
Baca Juga: Ini Pentingnya Mendukung Laki-laki Berbagi Peran dengan Perempuan
Nah.. Ketimpangan perlakuan inilah yang lantas dapat memicu rasa iri antar-gender yang berujung pada konflik. Jika tidak tertangani, setiap individu di kantor tersebut jadi lebih suka berfokus pada stereotip daripada menilai kualitas-kualitas pribadi/individu.
Lalu bagaimana cara menghadapi fenomena ini di tempat kerja ini? Sempat terpikir ingin resign saja? Eits, tunggu dulu. Ada cara lain lho yang bisa kita tempuh sebelum mengajukan resign. Pernahkah kamu mencoba mengomunikasikan kendala ini kepada atasan?
Atau, apakah selama ini kamu bingung mengungkapkan ketidaknyamanan kamu? Mungkin khawatir menggugat kenyamanan gender tertentu? Tidak apa-apa. Mari perlahan-lahan kita coba latih komunikasi asertif.
Mengomunikasikan Perspektif Kita
Ada satu cara yang Pulih bisa sarankan untuk kamu. Yakni, dengan mengaplikasikan komunikasi asertif di lingkungan kerja. Sesungguhnya, bila kita merasa didiskriminasi karena alasan gender, kita boleh lho menyampaikan keberatan. Tentu saja dengan cara penyampaian yang baik.
“Mohon maaf, Pak/Bu. Saya yakin jika diberi kesempatan, saya dapat menunjukkan performa yang tidak kalah baik dibandingkan rekan-rekan lain. Apakah saya boleh mencobanya terlebih dahulu? Kebetulan suami saya mendukung penuh karier saya sehingga ia tak keberatan berbagi tugas rumah tangga, sementara saya fokus mengejar promosi jabatan.”
“Baik, saya akan menuntaskan pekerjaan tambahan ini. Ohya, Pak/Bu, sepengatahuan saya Mita juga punya pengalaman kerja yang luar biasa di bidang IT lho! Bagaimana kalau pada proyek selanjutnya kita juga melibatkan Mita untuk kerja lapangan? Dengan demikian, kami sebagai tim dapat berbagi beban kerja.”
“Teman-teman, bagaimana jika kita menggunakan pola marketing yang berbeda dari biasanya. Saya rasa kita bisa menjual produk ini tanpa perlu meminta SPG kita menggunakan pakaian yang minim.”
Dengan komunikasi asertif, kita dapat menunjukkan bahwa diri kita berhak dinilai berdasarkan kualitas individu alih-alih sekadar dikelompokkan ke dalam stereotip gender tertentu.
Menghadapi Tantangan
Tapi bagaimana ya jika kantor tak lagi mengindahkan opini kita dan tak kunjung berempati? Mungkin ada di antara Sahabat Pulih yang merasa tempat kerjanya sudah terlalu lama membiarkan fenomena tersebut sehingga cenderung abai pada opini pekerja tentang stigma gender.
Baca Juga: Menimbang Kembali Manfaat Berkarier Sebelum Memutuskan untuk Resign
Pertama, ingatlah bahwa tak semua hal bisa kita ubah. Meski begitu ada beberapa poin yang dapat menjadi bahan asesmen jika kamu masih mau mencoba mengadvokasi masalah ini di tempat kerja.
- Mulailah dari diri sendiri
Pertama, kita juga perlu mengevaluasi diri sendiri. Apakah selama ini saya sudah bersikap profesional? Apakah saya menikmati keistimewaan yang bisa dengan mudah diakses oleh gender saya?Apakah saya secara sengaja maupun tak sengaja ikut melanggengkan stigma gender di kantor ini? Apakah saya memperlakukan orang lain secara proporsional dan adil dengan mengesampingkan faktor gendernya?
Dengan pertama-tama bersikap profesional, kita juga berkontribusi dalam mengubah budaya kerja di sekitar kita. Kita bisa menjadi seorang perempuan yang meskipun memiliki peran domestik, tetapi juga memiliki tanggung jawab yang sama dengan rekan kerja yang lain. Kita juga bisa menjadi laki-laki yang mengapresiasi prestasi perempuan dan menghormatinya sebagai atasan karena performanya yang baik.
- Memperlakukan rekan kerja secara setara.
Pertama-tama kita perlu menerima bahwa tiap individu unik. Dan karakternya terbentuk tidak ahistoris, melainkan merupakan proses yang panjang dan tidak serta merta terbentuk hanya karena ia berasal dari gender tertentu.Contohnya, Alvi adalah laki-laki yang memiliki keterampilan berbicara daripada mengerjakan laporan yang penuh angka. Latar belakang keilmuannya membuatnya lebih suka menggunakan intuisi dan aspek emosional daripada logika.
Sementara itu Prita adalah perempuan yang sejak kecil menggemari astronomi. Kini ia menjadi ilmuwan utama di kantornya. Ia bahkan memutuskankan tidak menikah karena ingin membaktikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan.
Contoh di atas membuktikan bahwa setiap orang tidak bisa diukur berdasarakan label/stereotip gender. Kita perlu memberi kesempatan kepada masing-masing gender untuk menunjukkan potensinya alih-alih melakukan generalisasi karakter/kapabilitas seseorang berdasarkan gendernya.
- Sampaikan kendala kerjamu dengan contoh yang jelas.
Hindari menggunakan stereotip gender sebagai dalih atau sebagai penyebab sebuah peristiwa.Misalnya:
“Namanya juga cewek, memang suka moody. Lagi dapet kali.”
“Mana sih ini laki-lakinya. Galon sudah kosong, nggak ada laki-laki yang insiatif ganti galon.”
“Mbak Nuri kan perempuan. Karena itu, tugas dinas luar kota baiknya kita serahkan saja ke rekan kerja laki-laki saja.”Alih-alih menggunakan gender sebagai penyebab atau kendala dari sebuah masalah, kita bisa melihatnya dari sudut pandang yang lebih objektif. Lebih baik jika disertai data. Dengan demikian, lawan bicara dapat menangkap pesan kita dengan lebih baik.
“Pak Apri terbukti mendapatkan nasabah paling banyak di bulan lalu sebanyak 132 orang. Lebih tinggi 15% dibanding rekan-rekannya. Oleh karena itu, saya rasa Pak Apri layak dipromosikan.”
“Bu Rita hari ini slow response. Saya dengar kemarin ibunya masuk rumah sakit. Mungkin beliau memiliki hal yang perlu diurus. Saya akan menyarankan Bu Rita untuk cuti beberapa hari.”
- Ucapkan terima kasih/apresiasi kepada atasan atau pihak kantor yang bersedia mendengarkan opinimu.
Nah, itu adalah 4 cara mengadvokasi masalah stigma gender di kantor kita. Dan tak ada salahnya membuka diskusi mendalam guna memperkecil risiko salah paham dan supaya terjadi pertukaran informasi yang konstruktif. Karena bisa saja pihak kantor memiliki pertimbangan sendiri mengapa menerapkan pembedakan perlakuan antara pekerja perempuan dan laki-laki.
Misalnya:
- Perempuan memiliki cuti haid dikarenakan pada sebagian perempuan, periode haid terasa menyakitkan. Sedangkan laki-laki tidak memiliki cuti haid dikarenan tidak mengalami haid.
- Untuk pekerjaan lepas pantai, data rekruter menunjukkan bahwa sebagian besar pelamar yang bersedia tinggal selama berbulan-bulan di rigging tengah laut adalah pelamar laki-laki. Dengan demikian, HRD lebih banyak merekrut pekerja laki-laki.
Keterangan dari pihak kantor tersebut dapat menghindarkan kita untuk terburu-buru menyalahkan atasan atau tempat kita bekerja.
Namun, bila dari keterangan yang kita dapatkan ternyata masalahnya adalah lebih dikarenakan budaya kerja yang telanjur terinternalisasi stereotip/stigma gender yang kaku, mungkin kita bisa memberikan saran kepada atasan.
Berikan opini supaya kendala atau ketidaknyamanan yang kita alami dapat menemukan jalan keluarnya. Syukur-syukur opinimu juga bisa mewakili apa yang ada di benak rekan-rekan kerja. Terima kasih telah mencoba mengomunikasikannya ya Sahabat Pulih! []
0 Comments
Leave A Comment