Disclaimer: Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari kampanye yang didukung oleh “Investing in Women (IW), sebuah inisiatif dari Pemerintah Australia. Semua yang tertulis di dalam artikel ini sepenuhnya merupakan buah pikir dari penulis Yayasan Pulih, dan tidak mencerminkan pandangan IW serta Pemerintah Australia.

Halo Sahabat Pulih! Bagaimana kabarnya? Apakah masih memutuskan untuk stay at home? Ataukah sudah kembali beraktivitas di luar rumah?

Seperti yang teman-teman ketahui, selama pandemi mau tak mau kita harus lebih banyak tinggal di rumah. Intensitas berinteraksi dengan keluarga pun meningkat. Tak ayal kita jadi punya waktu lebih banyak bersama ayah, ibu, kakak, adik, suami, istri, dan anak-anak kita.

Meski situasi ini terjadi dalam kondisi yang kurang menyenangkan, seyogyanya periode ini dapat menjadi kesempatan kita untuk berkumpul dengan keluarga. Mengakrabkan diri dengan keluarga. Aktivitas yang sebelum pandemi mungkin bakal sulit kita lakukan dikarenakan tingginya kesibukan di luar rumah.

Akan tetapi, tak bisa dipungkiri, tak semua orang bisa beradaptasi dengan pola ini. Tak semua orang terbiasa berinteraksi secara intens (bahkan hampir setiap waktu) dengan anggota keluarganya. Ada yang mungkin merasa canggung, asing, bingung, atau bahkan terganggu.

Ini adalah hal yang wajar lho, Sahabat! Perasaan-perasaan tidak nyaman tersebut bisa dikarenakan kita secara individu telanjur memiliki pola hidup yang sama sekali berbeda. Mungkin biasanya kita hanya berjumpa dengan orangtua setelah pulang kuliah. Baru bertemu istri setelah pulang kerja. Atau bermain bersama anak setelah mereka pulang sekolah.

Begitu ada perubahan drastis, tentu saja setiap orang membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Dan proses menyesuaikan diri ini bisa menimbulkan rasa yang kurang nyaman. Tapi tenang, Sahabat! Kamu tidak sendirian.

Yang perlu disadari dan diwaspadai, kondisi yang kurang nyaman ini juga berpotensi meningkatkan peluang konflik lho! Kok bisa? Mungkin di antara kamu ada yang terheran-heran. “Kan orang-orang serumah itu keluargaku semua. Kok bisa berkonflik?”

Baca juga: Pentingnya Personal Boundaries

Kita coba ke contoh kasus ya. Sebelumnya, kamu terbiasa bekerja di meja kantor dengan suasana yang hening. Lalu tiba-tiba harus bekerja dari rumah ditemani volume TV yang disetel kencang-kencang oleh kakeknya yang pendengarannya memang sudah berkurang. Kalau sehari dua hari sih tidak apa-apa. Tapi bagaimana jika hal tersebut terjadi setiap hari selama 6 bulan lebih?

Contoh lain. Orangtua kesal setiap kali melihat anaknya memegang HP terus di kamarnya. Ia pun menyuruh anaknya membantu di dapur dengan maksud mengurangi screen time Si Anak. Padahal anaknya itu menggunakan HP terus-menerus karena PR-nya selama pandemi memang harus dibuat secara daring. Anak pun jadi marah karena lelah dan merasa tidak dipahami orangtuanya. Sebaliknya, orangtuanya malah tersinggung, lalu muncul lah konfilk.

Pasangan suami dan istri sama-sama bekerja dari rumah selama pandemi. Setelah 3 bulan, Si Suami mulai merasa istrinya kurang andil dalam merawat bayinya yang sering sekali menangis di tengah meeting. Sementara itu istrinya selalu merasa suaminya terlalu sering membuat rumah kotor sehingga ia sering kelelahan bebersih rumah di sela-sela waktu kerjanya.

Hmmm.. rumit ya! Teman-teman pernah mengalami kondisi yang mirip-mirip seperti itu tidak? Kalau pernah, lalu apa reaksi teman-teman? Menyampaikan protes kepada anggota keluarga? Mengabaikan masalah tersebut? Menahan emosi karena tidak mau menyakiti perasaan orang rumah? Atau melakukan aksi diam dan berharap anggota keluarga tersebut menyadari sendiri kesalahannya?

Komunikasi Asertif di Lingkungan Keluarga
Berkonflik dengan keluarga sendiri memang suka bikin bingung ya Sahabat. Kalau disampaikan terus terang, khawatirnya keluarga kita tersinggung. Kalau tidak diselesaikan, nanti bisa bikin tambah runyam. Apalagi selama pandemi ini keluarga adalah sosok yang mau tidak mau mesti kita hadapi setiap hari dan setiap saat kan.

Hal terpenting adalah kita sudah mengetahui dan menyadari secara sadar bahwa ada ketidaknyamanan yang kita rasakan. Perasaan ini bukan untuk dianggap tidak ada, melainkan untuk disadari dan dikelola. Masalah pun juga selayaknya bukan untuk diabaikan, melainkan perlu dicari jalan keluarnya.

Nah, buat konflik di keluarga, Yayasan Pulih punya usulan yang mungkin bermanfaat buat kamu yang sedang mencari jalan keluar. Kuncinya ada di cara berkomunikasi!

Akan lebih baik jika kita menghindari pola komunikasi  yang ambigu. Pola komunikasi yang ambigu itu contohnya sikap diam, melampiaskan amarah ke hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan inti masalah, dan tindakan lainnya yang cenderung membuat orang lain kebingungan.

Diam untuk memberi waktu kepada diri sendiri adalah kebutuhan yang wajar. Kita bisa menyampaikan kebutuhan untuk menyendiri dan mengolah emosi kepada orang rumah. Tetapi jika terus-menerus mendiamkan orang lain, kita perlu menyadari bahwa tindakan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah. Tindakan tersebut, justru akan memberi celah bagi orang lain untuk terus berasumsi atau malah sama sekali tidak menyadari perbuatan apa yang sudah ia lakukan.

Baca juga: Selalu Ingin Menghindari Hubungan Sosial, Kenali Avoidant Personality Disorder

Jika komunikasi ambigu ini dibiarkan, bukannya tak mungkin yang terjadi adalah masalah kian yang menumpuk dan konflik yang berkepanjangan. Suasana rumah menjadi semakin tidak nyaman, masalah pun merembet ke mana-mana dan setiap anggota keluarga ikut stres.

Daripada tambah runyam, bagaimana kalau kita mencoba mengaplikasikan komunikasi asertif? Setelah emosimu cukup reda, cari momen kapan tepatnya kita bisa mengomunikasikan masalah tersebut. Komunikasi asertif biasanya meliputi beberapa upaya berikut.

Berfokus pada inti masalah
Bertitikpusatlah pada inti permasalahan. Hindari membahas masalah di masa lampau yang tidak ada hubungannya dengan konteks saat ini. Hindari menyerang pribadi orang lain dalam pembicaraan tersebut.

Menyampaikan fakta secara lugas, disertai dengan contoh yang jelas
Sampaikan masalah dengan rinci dan seefektif mungkin agar lawan bicara lebih mudah menangkap maksud dan tujuan kita. Berikan contoh peristiwanya agar lawan bicara dapat mengetahui kapan persisnya ia melakukan hal yang tidak berkenan bagi kita.

Hindari penggunaan gestur, gaya bicara, dan intonasi yang mengintimidasi
Pulih tahu betul bahwa menata emosi bisa sangat sulit dilakukan sehingga secara alamiah hal tersebut dapat mempengaruhi cara kita berbicara.

Akan tetapi, ketenangan dan kejernihan amatlah diperlukan untuk membuat lawan bicara kita mau mendengar setiap kata yang kita sampaikan. Bayangkan kalau sejak awal kita berbicara dengan nada tinggi karena terbawa emosi, besar kemungkinan lawan bicara kita akan merasa diserang dan cenderung defensif sehingga tidak mau mendengar atau membantah apapun yang kita katakan.

Dengan tutur kata yang baik serta emosi yang terkontrol, ia pun jadi mau duduk bersama dan ngobrol hal serius dengan kita.

Mendengarkan perspektif orang lain
Setelah menyampaikan maksud, ada baiknya juga bila kita memberi kesempatan kepada orang lain untuk memberikan tanggapannya. Dengan demikian kita juga dapat memahami perspektif mereka dan mengetahui kondisi orang lain. Syukur-syukur bisa langsung didiskusikan jalan keluarnya.

Siapa tahu selama ini orangtua kita tidak tahu bahwa perangkat digital untuk meeting daring sangat sensitif terhadap bunyi. Bisa jadi istri selama ini beranggapan bahwa suami tidak merasa keberatan menjaga bayi sementara dirinya fokus mengejar target kantor. Dan lain sebagainya.

Menegaskan komitmen bersama
Setelah itu, adakah solusi yang bisa kita sepakati bersama? Jika ada, kita bisa meminta kesediaan kepada orang lain untuk bersama-sama mengaplikasikan solusi tersebut dalam  kehidupan sehari-hari.

Meski begitu, perlu diingat bahwa solusi yang ditempuh belum tentu selalu menguntungkan posisi kita. Misalnya untuk kakek kita yang sudah kurang pendengarannya. Tentu saja kita tak bisa memintanya mengecilkan suara TV karena hal tersebut sama saja dengan membiarkan kakek kita tidak memiliki hiburan di rumah.

Mungkin solusinya adalah dengan membeli headset yang lebih kedap? Atau sesekali bekerja dari kafe dekat rumah, pindah kerja ke ruangan yang lebih tertutup, atau memberikan alternatif hiburan lain untuk kakek supaya jam menonton TV-nya berkurang.

Kira-kira, demikianlah hal yang kita bisa kita upayakan untuk membuat orang serumah saling mengerti rasa tidak nyaman yang dialami masing-masing anggota keluarga.

Jangan lupa mengapresiasi orang serumah setelah mereka bersedia mendengarkan kita ya! Ucapan “terima kasih” tentunya akan membuat orang di rumah merasa dihargai dan mereka juga akan menangkap kesan bahwa ketidaknyamananmu adalah hal serius yang perlu ditindaklanjuti.

Selamat mencoba menerapkan komunikasi asertif di tengah-tengah keluarga, Sahabat Pulih!