Artikel berikut memuat konten terkait dengan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Kekerasan Seksual (KS) yang dapat memicu emosi negatif pembaca. Jika Anda berada dalam kondisi emosional yang tidak baik untuk membaca artikel dengan tema tersebut, diharapkan Anda bisa mendapatkan dampingan dari orang lain ketika membacanya. Kebijakan pembaca sangat disarankan. Jika Anda pernah mengalami kejadian serupa dalam artikel ini dan merasa terpicu setelah membaca, dapat menghubungi Layanan Psikologi Yayasan Pulih. 

Fitri (Ayushita) merupakan seorang disabilitas netra yang bersekolah di salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB). Ia jatuh cinta dengan Edo (Nicholas Saputra) seorang disabilitas tuli yang merupakan anak dari pedagang yang berjualan di depan sekolah mereka. Sebelumnya, ia telah memiliki pacar yang memanfaatkannya secara seksual. Ketika dia bertemu dengan Edo, dia menceritakan bagaimana ia bertemu pacar sebelumnya dan bagaimana kemudian ia dibujuk untuk melakukan kegiatan seksual dengannya.

Diana (Karina Salim), sahabat Fitri merupakan seorang dengan low vision mengalami hal yang berbeda terkait seksualitas. Diana digambarkan sebagai orang yang polos yang selalu ingin dilihat sebagai seorang perempuan. Ia menyisir rambutnya sebanyak seratus kali, mengikuti kelas balet, dan berdandan. Ketika ia mendapatkan menstruasi pertamanya, ia merasa begitu bahagia. “Ma, Diana sudah menjadi wanita seutuhnya,” begitu dia memberitahu Mamanya ketika dia tahu dia mendapatkan menstruasi pertamanya.

(What They Don’t Talk About When They Talk About Love, 2013)

Kondisi yang dialami oleh Fitri dan Diana juga dialami oleh banyak teman penyandang disabilitas: mengalami kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan yang inklusif, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi. Tak hanya mengalami tantangan dalam sisi aksesibilitas, mereka juga mengalami tantangan karena keterbatasan terhadap akses informasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk informasi mengenai Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Diana, misalnya, yang menganggap bahwa dia bisa menjadi perempuan seutuhnya jika sudah mengalami menstruasi. Atau Fitri, yang menceritakan kalau pacarnya membujuknya melakukan aktivitas seksual tanpa mengetahui akibat yang bisa diterimanya.

Solih Muhdlor, Koordinator Divisi Sentra Advokasi Perempuan Dan Anak mengakui, pemenuhan pelayanan kesehatan reproduksi memiliki banyak tantangan, misalnya tidak adanya akses pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi yang memadai. Hal ini dipengaruhi oleh sulitnya mengakses informasi terkait layanan-layanan kesehatan seksual dan reproduksi di sekitar mereka. Lebih buruk lagi, informasi yang didapatkan secara terbatas itu belum tentu bisa dipahami oleh penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk mendapatkan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini sejalan dengan  Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mengatur hak dan kesempatan yang sama, termasuk hak hidup, mendapat pendidikan dan pekerjaan, juga mengakses fasilitas umum, termasuk fasilitas kesehatan seksual dan reproduksi. Namun, tanpa adanya standar pelayanan berupa metode dan pendekatan khusus bagi penyandang disabilitas, hak atas kebutuhan ini akan sangat sulit tercapai.

Layanan Seperti Apa yang Dibutuhkan oleh Penyandang Disabilitas?

Bicara tentang kebutuhan informasi kesehatan seksual dan reproduksi bagi penyandang disabilitas, pemberian informasi seharusnya diberikan secara lengkap, inklusif, dan mudah dipahami oleh penyandang disabilitas. Tak hanya itu, sosialisasi tentang kesehatan reproduksi juga penting diberikan untuk menghindarkan penyandang disabilitas dari kekerasan seksual, infeksi menular seksual, kekerasan fisik, aborsi tidak aman, atau permasalahan lain sesuai dengan kebutuhan ragam disabilitas. 

Dalam memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas, tenaga kesehatan dan penyedia layanan kesehatan harus memperhatikan mekanisme pemberian layanan seperti cara berinteraksi, assessment (penilaian), serta pemeriksaan yang disesuaikan dengan masing-masing kondisi penyandang disabilitas. Misalnya, jika pasien yang mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi adalah disabilitas Tuli, tenaga kesehatan dan penyedia layanan kesehatan perlu menggunakan bahasa isyarat untuk bisa berkomunikasi dan menyampaikan informasi kepada pasien dengan baik dan tentunya memahami budaya Tuli agar dapat memberikan informasi dengan tepat. 

Kesehatan seksual dan reproduksi sendiri bisa diartikan sebagai keadaan baik secara fisik, mental, maupun sosial terkait dengan reproduksi. Hal ini dimaksudkan bahwa kesehatan seksual dan reproduksi tidak hanya dianggap sebagai ketiadaan rasa sakit maupun disfungsi alat seksual dan reproduksi. Seperti layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang biasa diberikan kepada pasien non-disabilitas, penyandang disabilitas juga harus mendapatkan standar pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi yang meliputi pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana (KB), layanan kesehatan reproduksi bagi lanjut usia, serta penanganan infeksi menular seksual (IMS), HIV, dan AIDS. Informasi kesehatan seksual dan reproduksi terkait menstruasi, kehamilan, dan fungsi reproduksi yang bermasalah harus menjadi layanan kesehatan seksual dan reproduksi minimal yang harus dipenuhi sejak awal bagi penyandang disabilitas. Layanan ini melingkupi tiga langkah kesehatan seksual dan reproduksi mulai dari pencegahan, pengenalan, dan rehabilitasi atau penyembuhan.

Layanan ini perlu didukung dengan aksesibilitas informasi, pelayanan dan fasilitas, pelibatan pendamping, orang tua, dan lembaga pendidikan untuk sosialisasi, serta peningkatan pemahaman terkait kesehatan reproduksi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan seksual dan reproduksi bagi penyandang disabilitas. Aksesibilitas dan inklusivitas menjadi komponen esensial karena aksesibilitas sangat menentukan kemampuan penyandang disabilitas dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, sementara inklusivitas artinya menjamin semua orang mendapatkan haknya dan diakui secara setara. Layanan yang tidak memperhatikan aspek aksesibilitas dan inklusivitas dapat menambah kerentanan penyandang disabilitas dalam proses mendapatkan informasi maupun akses pelayanan kesehatan. Misalnya, ketiadaan kamar mandi khusus disabilitas dengan fasilitas handrail (pegangan) dan ruang yang cukup luas bagi kursi roda akan mempersulit pasien disabilitas yang ingin membersihkan diri

Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Harus Diberikan Tanpa Meninggalkan Penyandang Disabilitas Itu Sendiri

Kita tidak boleh meninggalkan penyandang disabilitas. Maksudnya, ketika kita membicarakan tentang kesehatan seksual dan reproduksi, kita harus perlu  melihat memandang penyandang disabilitas sebagai orang yang bisa berkontribusi, bukan hanya objek yang harus selalu dipenuhi kebutuhannya. Ketika layanan kesehatan seksual dan reproduksi diberikan kepada penyandang disabilitas, ada hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh tenaga kesehatan maupun penyedia layanan. Kontribusi yang dimaksud dapat berupa beberapa hal seperti:

  1. Penyandang disabilitas berhak mendapatkan dan mengakses informasi yang membuat mereka bisa memilih, memutuskan, dan mengambil tanggung jawab terkait dengan kesehatan seksual dan reproduksinya;
  2. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk menentukan kapan dan dengan siapa akan aktif secara seksual;
  3. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk bebas dari penyalahgunaan dan kekerasan seksual termasuk aborsi dan sterilisasi yang tak perlu dan tak beralasan;
  4. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk menentukan keinginannya secara bebas terkait apakah mereka ingin memiliki anak, kapan mereka akan memiliki anak, dan berapa anak yang akan dimiliki;
  5. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk menjaga dan membesarkan anak-anaknya sendiri; serta
  6. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapat perlakuan baik, penghormatan penuh terhadap seksualitas dan relasi seksual dan kesempatan mendapatkan kesenangan dan menikmati pengalaman seksual yang aman, bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan dan bermartabat saat mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi sebagaimana layanan bagi non-disabilitas.

Selain hal-hal di atas, kita juga dapat melibatkan penyandang disabilitas berkontribusi dalam pemenuhan hak seksual dan reproduksi, khususnya dalam kondisi luar biasa seperti pandemi yang saat ini terjadi. Kita bisa melibatkan penyandang disabilitas sebagai peer support (dukungan sebaya) bagi penyandang disabilitas lain melalui kampanye sosial maupun komunitas disabilitas. Peer support yang dilakukan penyandang disabilitas terhadap penyandang disabilitas lain dapat memainkan peran penting dalam advokasi aksi tanggap kesehatan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.

Tulisan ini dibuat dengan dukungan dari UNFPA Indonesia dan Pemerintah Jepang melalui Program Leaving No One Behind. 

#LeavingNoOneBehind #Everyonecounts #InclusiveC19Response