Bahasa merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan anak. Bahasa sebagai bentuk komunikasi baik bahasa verbal maupun nonverbal didasarkan pada sistem simbolik. Komunikasi menjadi salah satu kemampuan yang perlu dimiliki setiap orang, tidak lepas dari anak. Kita sebagai orangtua perlu mengidentifikasi anak, apakah si kecil mengalami keterlambatan bicara atau sekedar tidak mau bicara.
Noam Chomsky dalam Stanborough (2019), susunan syaraf di otak membentuk cara belajar bahasa pada manusia. Ada persamaan akuisisi bahasa anak-anak di seluruh dunia. Goorhuis-Brouwer menjabarkan bahwa ada 3 cara yang mempengaruhi akuisisi bahasa, yaitu pengalaman anak, bahasa yang digunakan sehari-hari, dan dimana pembelajaran si anak.
Pembelajaran si kecil dapat dimulai dari lingkup terkecilnya, yaitu keluarga. Setianingsih (2017) menjelaskan dalam penelitiannya komunikasi positif ayah terhadap anak sangat berperan dalam membentuk mental anak. Peran ayah yang dikaitkan dengan Kualitas komunikasi dipengaruhi beberapa aspek diantaranya kesadaran diri, keterbukaan, kejujuran, kepercayaan, empati, mendengarkan, kata-kata positif, pemikiran, keteladanan, kebersamaan aktivitas dengan anak, kesantunan bahasa, keilmuan, dan kolaborasi.
Tapi, tahukah ayah bunda kalau kemampuan berbahasa pun sudah ditunjukkan oleh si kecil sejak usia 1 bulan? Walaupun hanya menangis, tapi tangisan mereka menjadi satu-satunya cara bayi berkomunikasi dengan lingkungan. Hal ini diungkapkan dalam buku Psikologi: Ibu, bayi, dan anak di tahun 2011. Misalnya, saat ia merasa lelah, terlalu berisik, atau buang air. Mereka akan menangis. Menangis pun menjadi bentuk kesiapan bayi untuk menguasai bahasa karena melatih pangkal tenggorokan.
Sebelum kita menilai anak, apakah mereka terlambat bicara atau tidak, sudahkah ayah bunda memberikan stimulasi yang tepat terkait pengembangan Bahasa si kecil? Misalnya, melakukan komunikasi dua arah. Hal ini bukan hanya melatih anak secara pasif untuk mendengarkan, tapi ada area otak yang aktif untuk anak memberikan respon. Janet Lansbury (2014), anak perlu dilatih berkomunikasi dua arah bukan hanya diberitahu apa yang terjadi dengan memperhatikan bahasa atau sinyal nonverbal mereka. Misalnya, saat anak menanggis, kita dapat bertanya, “Kamu kenapa?”. Atau saat anak jatuh, kita dapat bertanya, “Apa yang terjadi sehingga adik jatuh? Sakit ya kakinya?”. Nah, dari sini anak belajar memahami konsep jatuh dan perasaan sakit, ditambah anak pun terlatih untuk mengungkapkan pendapatnya.
Kemudian, hentikan baby talk. Mungkin sebagian dari orang dewasa, merasa lucu jika mendengar anak-anak mengubah nada suaranya menjadi seperti bayi atau anak kecil. Perlu diingat anak-anak sedang proses belajar, jika ayah bunda mengucapkan baby talk itu hanya akan menghambat si kecil belajar kosa kata dan pengucapan yang kurang tepat. Berk (2014) mengungkapkan bahwa anak usia 2 sampai 6 tahun sedang belajar kosa kata, tata Bahasa, dan aspek pragmatif. Lebih lanjut, usia 3 tahun secara spesifik sudah memahami 900 kosa kata dengan rata-rata belajar 10 kata per hari. Sementara anak usia 6 tahun sudah paham 15.000 kosa kata. Jadi, usahakan bicara dengan benar dan tepat, ya ayah bunda.
Tips berikutnya, ulangi dan perbaiki kata anak. Saat anak bicara, pastikan bahwa kita mendengarkan dengan baik. Hal ini secara tidak langsung mengajarkan sopan santun juga dan berusaha untuk saling mengerti satu sama lain. Jika ada kata atau pelafalan anak yang kurang tepat, maka kita harus perbaiki ucapan tersebut agar si kecil belajar. Misalnya, “mimi cucu”, jika yang dimaksud adalah minum susu, ungkapkan “Minum susu”, kemudian minta mereka mengeja. Pelan-pelan mereka akan belajar kata yang tepat.
Terakhir, apresiasi dan berikan pujian secara spesifik, jika anak sudah berusaha serta menunjukkan progress. Sama seperti orang dewasa, pujian dan apresiasi akan berdampak positif pada tumbuh kembang anak. Salah satu manfaat pujian adalah meningkatkan kepercayaan diri. Perlu diingat, pengasuhan orangtua khususnya ayah pun memberikan dampak positif pada tumbuh kembang anak terlebih perkembangan kognitif yang salah satu areanya adalah perkembangan bahasa.
Jadi, sebelum melabeli atau mendiagnosa anak, lebih baik berikan dulu stimulasi yang tepat sesuai dengan usia perkembangan si kecil ya, ayah bunda. Jika sudah dan ternyata tidak ada perubahan. Menurut Pietro (2017), ada beberapa tanda sebagai bentuk keterlambatan bicara pada anak, misalnya tidak mengoceh (babbling) pada usia 15 bulan, tidak bicara pada usia 2 tahun, kurang mampu berbicara dalam kalimat pendek pada usia 3 tahun, kesulitan mengikuti petunjuk atau arahan, kesulitan menyusun kata-kata dalam sebuah kalimat. Sebaiknya konsultasikan dengan ahli, seperti dokter anak maupun psikolog.[]
By: Octavia Putri, M. Psi., Psikolog
Sumber:
Berk, L. E. (2014). Development through the lifespan (6th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.
Lansbury, J. (2014). Elevating Children Care: A Guide to Respectful Parenting. California: CreateSpace Independent Publishing Platform.
Nirwana, A. B. (2011). Psikologi: Ibu, bayi, dan anak. Yogyakarta: Nuha Medika.
Pietro, M. D., 2017, Language Delay, https://www.healthline.com/health/language-delay
Setianingsih, F. (2017). Peran Komunikasi Ayah dalam Perkembangan Mental Anak: Studi atas Santri Putri Pondok Tahfidz Karanganyar. 1(2).
Stanborough, R. J. (2019). Born This Way: Chomsky’s Theory Explains Why We’re So Good at Acquiring Language. Diakses dari https://www.healthline.com/health/childrens-health/chomsky-theory
0 Comments
Leave A Comment