“Sometimes all a person wants is an empathetic ear; all he or she needs is to talk it out. Just offering a listening ear and an understanding heart for his or her suffering can be a big comfort.”― Roy T. Bennett

Memahami kata empati terkadang disamakan dengan kata simpati. KBBI menjelaskan bahwa empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Sementara, simpati berarti (1) rasa kasih; rasa setuju (kepada); rasa suka: (2) keikutsertaan merasakan perasaan (senang, susah, dan sebagainya) orang lain. Jadi, keduanya sama-sama berkaitan dengan perasaan. Ada perbedaan empati dan simpati, misalnya: empati lebih mendalam dan lebih memahami orang lain.

Empati diungkapkan oleh Mashar dalam Nugraha dkk (2017) termasuk didalam aspek dari kecerdasan emosional. Aspek kecerdasan emosional adalah kesadaran diri, mengelola emosi, memotivasi diri, empati, dan membina hubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, saat anak diajarkan empati, secara tidak langsung berdampak kepada kecerdasaan emosionalnya.

Tor Wager (2016) merupakan professor psikologi dan neuroscience di CU-Boulder, menjelaskan dalam penelitiannya bahwa empati berupa proses kompromi yang disadari bukan sekedar proses otomatis dan naluriah. Sementara Decety dan Cowell (2014), mengemukakan bahwa empati dapat muncul dari berbagai proses interaksi manusia. Misalnya proses emosional dimana adanya kemampuan motivasi seperti kebutuhan untuk menanggapi perasaan orang lain, dan secara kognitif seperti mampu mengambil sudut pandang orang lain.

Hoffman (1987) berpendapat bahwa empati pada anak-anak berkembang di empat tahap yang berbeda dan bahwa setiap tahap meletakkan dasar untuk tahap berikutnya. Dimulai dari tahap ‘penularan emosi’, di mana emosi satu orang membangkitkan reaksi emosional yang sama pada orang lain (atau pengamat). Anak melihat bagaimana orang lain bereaksi khususnya secara emosional. 

Tahap kedua, mulai memperhatikan terhadap perasaan orang lain, dimana kita menyadari perasaan orang lain tetapi tidak mencerminkannya. Ketiga, adanya tindakan prososial, dimana anak atau diri kita sebagai pengamat menyadari perasaan orang lain dan berperilaku untuk menghibur orang lain. Terakhir, berempati, sudah merasakan empati terhadap situasi kehidupan orang lain yang lebih luas, daripada situasi langsung mereka saat ini.

Selain itu, (Fletcher-Watson & Bird, 2020) merangkum empat hasil dari proses berempati. Langkah pertama, memperhatikan atau mengamati keadaan emosi orang lain. Sebelum bereaksi, perlu tau situasi orang tersebut dulu, apa yang terjadi dengannya. Langkah kedua, menafsirkan keadaan emosi dengan benar. Jika dia sedang tertimpa masalah misalnya, maka kira-kira apa yang dirasakan orang tersebut. Yang dikaitkan dengan langkah sebelumnya.

Ketiga, ‘merasakan’ emosi yang sama. Ketika kita melihat orang lain mengalami kejadian dan mencoba memahami emosi mereka, lalu kita pun merasakan perasaan yang sama dengan orang tersebut. Jika ia bersedih, kita pun bersedih. Ketika dia kesal, kita juga memahaminya. Terakhir, langkah 4, menanggapi emosi. Setelah tau perasaannya dan kita merasakan hal yang sama, maka kita pun dapat merespon emosi tersebut. Apa yang bisa dilakukan oleh kita agar dapat membuat orang tersebut lebih baik.

Selain 4 langkah di atas, Siwi di tahun 1992 menjelaskan ada faktor yang dapat membuat individu menjadi lebih berempati, misalnya pola asuh, kepribadian, usia, dan sosialisasi. Membahas tentang pola asuh, jelas bahwa peran orang tua yang menanamkan nilai empati akan sangat penting karena orangtua adalah lingkup pertama anak. Sehingga tumbuh kembang anak pun perlu bimbingan dari orangtua.

Terkait dengan kepribadian, umumnya orang dengan kepribadian tenang dan cenderung instropeksi diri memiliki kepekaan yang tinggi juga. Kepekaan akan tumbuh menjadi empati. Lalu, faktor usia, umumnya semakin bertambah usia, semakin tinggi empatinya. Tetapi, tidak dipungkiri bahwa anak kecil pun sudah dapat dilatih berempati. Hal ini berkaitan dengan usia mental seseorang bukan usia biologisnya. Ketika usia bertambah, maka pengalaman hidup pun bertambah, lalu empati pun semakin terasa.

Terakhir, sosialisasi. Semakin banyak bersosialisasi, maka semakin banyak juga hal yang diketahui khususnya tentang perasaan orang lain. Dikarenakan setiap orang berbeda, jadi semakin mengenal karakteristik orang yang yang berbeda dan lebih memahami orang tersebut.

Tanpa empati, kita akan sulit untuk memahami perasaan, motivasi, dan perilaku orang lain. Tanpa empati, kita juga sulit menanggapi perasaan dengan tepat serta dapat salah membaca isyarat orang lain. Malah kadang kita jadi bersikap tidak sesuai dengan norma, seperti menganggap lelucon atau malah sarkasme.

Membahas empati pada anak, menurut (Iis, 2012) dapat diajarkan melalui mendongeng. Dengan metode ini, anak dapat belajar lebih kondusif dan menarik minat anak. Begitu pula proses belajar mengajar jadi lebih menyenangkan. Anak anak belajar tanpa merasa digurui.

Selain itu, dalam penelitian (Khasanah & Fauziah, 2020) ditemukan tidak ada pola asuh yang paling baik diantara ketiga jenis pola asuh. Namun orang tua harus mampu mengkombinasikan dengan pola asuh lainnya. Kurangnya pola asuh dipengaruhi oleh sosial ekonomi, pendidikan, gender, dan pekerjaan, sedangkan perilaku prososial dipengaruhi oleh modeling, sifat bawaan, kebiasaan, komunikasi, dan gender. Lebih lanjut menurut (Brantasari, 2021), keterlibatan Ayah dalam melakukan peran pengasuhan dengan baik maka akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada perkembangan sosial anak termasuk rasa empati. Pengasuhan yang baik yang dilakukan ayah berdampak pada kemampuan kognitif, akademik, psikologi-emosional serta interaksi anak pada lingkungan sosialnya. 

Begitu pula keterlibatan ayah dalam kemampuan adaptasi. Menurut (Nurhani & Atika Putri, 2020) pengasuhan partisipasi aktif memberikan dampak positif pada seorang anak, misalnya kemampuan beradaptasi. Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan baik terhadap dirinya sendiri atau dengan lingkungan seperti: keluarga, teman, orang lain dan norma-norma yang berlaku di sekitar lingkungan. Dengan kata lain anak mencontoh kebiasaan orangtua khususnya dari ayah. 

By: Octavia Putri, M. Psi., Psikolog

Sumber:

Brantasari, M. (2021). Peran Pengasuhan Ayah , Perilaku Empati Pada Anak Usia Dini Pendahuluan. 6(December), 70–77.

Decety J, Cowell JM. The complex relation between morality and empathy. Trends Cogn Sci. 2014 Jul;18(7):337-9. doi: 10.1016/j.tics.2014.04.008. PMID: 24972506.Brantasari, M. (2021). Abstrak Kata Kunci : Peran Pengasuhan Ayah , Perilaku Empati Pada Anak Usia Dini Pendahuluan. 6(December), 70–77.

Fletcher-Watson, S., & Bird, G. (2020). Autism and empathy: What are the real links? Autism, 24(1), 3–6. https://doi.org/10.1177/1362361319883506

Iis, N. (2012). Pengembangan Empati Anak Usia Dini Melalui Mendongeng Di Taman Kanak-Kanak Asyiyah Pariaman. Jurnal Ilmiah Pesona Paud, 1(4), 1–11. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/paud/article/view/1667

Khasanah, B. L., & Fauziah, P. (2020). Pola Asuh Ayah dalam Perilaku Prososial Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 5(1), 909–922. https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i1.627

Nugraha, D., Apriliya, S., & Veronicha, R. K. (2017). Kemampuan Empati Anak Usia Dini. Jurnal Paud Agapedia, 1(1), 30–39. https://doi.org/10.17509/jpa.v1i1.7158

Nurhani, S., & Atika Putri, A. (2020). Keterlibatan ayah dalam pengasuhan terhadap kemampuan penyesuaian diri anak usia 4-6 tahun. Aṭfāluna: Journal of Islamic Early Childhood Education, 3(1), 34–42. https://doi.org/10.32505/atfaluna.v3i1.1654

Tor Wager. (2016). Empathy for others’ pain rooted in cognition rather than sensation, CU-Boulder study finds. Colorado University. https://www.colorado.edu/today/2016/06/14/empathy-others-pain-rooted-cognition-rather-sensation-cu-boulder-study-finds