“Potty training is a developmental process, Not a race.” – Deedee & Dooley.

Mengajarkan anak suatu kemampuan baru, pasti memerlukan kesiapan yang perlu diperhatikan oleh orang tua. Begitu pula pada kemampuan toilet training alias ke toilet sendiri. Toilet training diartikan sebagai proses belajar anak terkait dengan kontrol diri khususnya dalam mengatur dan mengelola buang air, baik buang air besar mau pun buang air kecil. Keen dalam (Khoiruzzadi & Fajriyah, 2019) menjelaskan toilet training pada anak usia toddler merupakan usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol melakukan buang air kecil dan buang air besar. Toilet training secara umum dapat dilaksanakan pada setiap anak yang sudah mulai memasuki fase kemandirian pada anak. Bukan hanya kemampuan buang air, toilet training juga bagian dari perkembangan manusia.

Sebelum kita bahas tentang usia yang tepat, ada baiknya kita kenali dulu tanda anak siap untuk melakukan toilet training (When to Start Potty Training, n.d.), seperti ia suka meniru cara penggunaan toilet, mengungkapkan mau buang air, memahami perintah sederhana, paling tidak menunjukkan kemampuan membuka celana, sudah tidak buang air 2 hingga 3 jam (menahan diri) baik saat keadaan bangun maupun tidur, anak merasa jijik jika ada kotoran di celana/popok, dan sudah menunjukkan kemandiriannya untuk bina diri.

Setelah tanda-tanda kesiapan terlihat, maka rentang usia yang sesuai antara 18 bulan sampai 3 tahun. Dalam artikel (How to Potty Train, 2018), kebanyakan orang tua mulai berpikir tentang toilet training ketika anak mereka berusia antara 2 dan 2 setengah tahun, tetapi tidak ada waktu yang tepat. Mengingat proses belajar dan kesiapan anak berbeda, maka setiap anak punya waktu yang berbeda untuk menjadi siap, ada yang lebih cepat atau yang lebih lambat. Umumnya kesiapan anak laki-laki cenderung lebih lambat dibandingkan anak perempuan. 

Membahas tentang kesiapan anak, maka kita perlu memperhatikan kemampuan Bahasa anak. Seperti kemampuan bicara dan membedakan antara mau pun BAK atau BAB. Orangtua pun dapat mengajarkan Bahasa yang lebih mudah diucapkan, misalnya ‘pipis’ atau ‘pup’. Tetapi ingat, anak perlu paham konsep beda dan sama dulu. Ditambah, anak paham yang dirasakan adalah tekanan kantung kemih atau rasa mulas. Hal ini merupakan tanggungjawab anak untuk mempelajari sinyal tubuhnya ketika dia perlu menggunakan toilet. Jika sudah siap untuk hal ini, bisa lanjut ketahap lain.

Kemudian, anak perlu tau bagaimana bersikap menanggapi “alarm” tubuh tadi, apakah ia perlu berlari atau sekedar jalan karena ia masih mampu menahan. Lalu, ia pun perlu tau bagaimana cara melepaskan pakaian dan mengontrol diri. Ibarat kata, anak perlu mengalokasikan waktu dari rasa mau buang air hingga waktu sampai ia selesai melepaskan pakaian dan memposisikan diri untuk buang air.

Cara penggunaan toilet pun perlu diajarkan kepada si kecil ya. Misalnya, cara duduk di kloset atau pun berjongkok, cara membersihkan alat kelamin setelah BAK dan BAB, cara menekan tombol flush atau pun memegang gayung, hingga cara mencuci tangan setelah buang air. 

Setelah proses pengajaran selesai, maka orangtua dapat memperhatikan hal lainnya. Misalnya, dengan tidak memaksakan anak untuk harus buru-buru mampu toilet training. Hindari bersikap memaksakan anak, hal ini hanya akan membuat anak merasa tidak nyaman untuk belajar toilet training. 

Selain itu, hindari menghukum dan memarahi anak, tidak efektif dalam proses belajar. Kita perlu paham bahwa anak sedang proses belajar, jadi perlu waktu. Ingat, kalau anak merasa tertekan dalam proses belajar, bisa membuat anak jadi “tidak” mau belajar. Ditambah, dalam proses belajar perlu adanya kebiasaan dan keinginan dulu.

Perhatikan pembelajaran pada anak. Jangan melakukan pengajaran atau kemampuan baru secara bersamaan. Misalnya, sedang mengajarkan anak tidur sendiri langsung diajarkan toilet training. Atau sedang mengajarkan cara menggosok gigi bersamaan dengan toilet training. Hal ini akan membuat anak semakin cemas.

Dengan kata lain, sebagai orangtua perlu memperhatikan kapan anak siap belajar (toilet training) dan perlu waktu untuk membiasakan hal tersebut. Kita sebagai orangtua, perlu kreatif dalam proses pengajaran kepada anak, misalnya dengan membuat suasana kamar mandi menjadi menyenangkan, sehingga anak tidak takut ke kamar mandi. Bisa juga dengan memberikan penghargaan dan pujian, jika anak berhasil ke toilet dan buang air sendiri. Atau orangtua dapat membelikan toilet khusus anak, sehingga ia nyaman ke toilet.

Biasanya memberikan apresiasi kepada anak atas keberhasilan yang dilakukan khususnya ketika melakukan tahapan toilet training. Jika perlu berikan reward kepada anak sebagai bentuk penghargaan. Misalnya, dengan memberikan stiker atau berikan tambahan waktu bermain. Seperti yang dicontohkan pada (Hartanti, 2016), dimana menggunakan reward agar membuat anak memperhatikan. Selain itu, orangtua juga bisa sambil jelaskan kepada anak bahwa popok atau diaper hanya digunakan saat malam hari.

Selain itu, orangtua dapat menjadwalkan setiap 2 atau 3 jam sekali dan bertanya kepada anak, apakah ia mau ke toilet atau tidak. Bisa juga dengan aplikasi permainan toilet kepada anak atau melalui video pengajaran anak ke toilet. Salah satu videonya, sebagai berikut https://www.youtube.com/watch?v=UH2Sm0Wj3Dw . Begitu pula aplikasi yang dapat digunakan, dalam artikel yang dituliskan oleh Prasetyowati (2018), seperti AvaKid See Me Go Potty.

Terakhir, perlunya konsisten atas aturan yang sudah dibuat, sehingga anak belajar apa yang boleh dilakukan atau pun apa yang tidak boleh dilakukan. Bukan hanya dari pihak ibu atau ayah, tetapi diharapkan semua anggota keluarga menerapkan hal yang sama. Begitu pula, orangtua perlu belajar dan memiliki pengetahuan tentang toilet training sebelum mengajarkan. Hal ini didukung oleh penelitian dari (Aziz et al., 2019).

By: Octavia Putri, M. Psi., Psikolog

Sumber :

Aziz, A. S. P. C., Ermaya, Y. S., & Sari, N. M. (2019). Parents’ Knowledge and Children’s Toilet Training Practices: Study in Kindergartens in Jatinangor. Althea Medical Journal, 6(2), 86–90. https://doi.org/10.15850/amj.v6n2.1659

Hartanti, A. (2016). Efektifitas sosialisasi toilet training booklet terhadap mother skills toilet training pada ibu dengananak usia 3-4 tahun di KB Al-Mubarok Desa Jambewangi Sempu Banyuwangi. 15(2), 1–23.

How to potty train. (2018). https://www.nhs.uk/conditions/baby/babys-development/potty-training-and-bedwetting/how-to-potty-train/

Khoiruzzadi, M., & Fajriyah, N. (2019). Pembelajaran Toilet Training dalam Melatih Kemandirian Anak. 1(2), 142–154.

Prasetyowati, N. D. (2018). Aplikasi Ini Bisa Kenalkan “Potty Training” pada Anak Bahkan yang Terkena Sindrome Autisme. Parapuan. https://www.grid.id/read/04910802/aplikasi-ini-bisa-kenalkan-potty-training-pada-anak-bahkan-yang-terkena-sindrome-autisme?page=all

When to Start Potty Training. (n.d.). https://www.pull-ups.com/en-us/potty-training/when-to-start/6-signs-your-child-is-ready